09 January 2011

Metode Pembelajaran dan Metode Evaluasi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Belajar di bidang formal tidak selalu menyenangkan. Apalagi jika Anda harus belajar dengan terpaksa Para ahli di bidang pendidikan mencoba mengembangkan teori mengenai gaya belajar sebagai cara untuk mencari jalan agar belajar menjadi hal yang mudah dan menyenangkan. Sebagaimana kita ketahui, belajar membutuhkan konsentrasi.
Dalam proses pembelajaran keperawatan kita memepelajari beberapa metode-metode yaitu Self Direction Learning, Small Group Discussion, Inquiry Based Learning, Problem Based Learning. Disini kita juga mempelajari metode evaluasi dan aspek-aspek yang ada di dalam evaluasi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Metode Pembelajaran keperawatan
2.1.1 Self Direction learning
1. Definisi self direction
Pembelajaran mandiri didefinisikan sebagai:
“Proses belajar yang mengajak siswa melakukan tindakan mandiri yang melibatkan terkadang satu orang, biasanya satu kelompok. Tindakan mandiri ini dirancang untuk menghubungkan pengetahuan akademik dengan kehidupan siswa sehari-hari secara sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang bermakna. Pembelajaran mandiri membebaskan siswa untuk belajar sesuai dengna gaya belajar mereka sendiri, sesuai dengan kecepatan belajar mereka dan sesuai dengan arah minat dan bakat mereka dalam menggunakan kecerdasan majemuk yang mereka miliki. Sistem belajar mandiri adalah cara belajar yang lebih menitikberatkan pada peran otonomi belajar kepada pebelajar. Dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri, pebelajar diberikan kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam menentukan 1) tujuan belajarnya (apa yang harus dicapai); 2) apa yang harus dipelajari dan darimana sumbernya; 3) bagaimana mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana keberhasilan belajarnya diukur (evaluasi). Belajar mandiri juga dapat dipandang sebagai metode (proses) maupun tujuan (produk). Sebagai proses, belajar mandiri dijadikan sebagai metode/cara dalam sistem pembelajaran tertentu. Sedangkan sebagai produk, mengandung arti bahwa suatu sistem pembelajaran dengan berbagai strateginya ditujukan untuk menghasilkan pebelajar mandiri. Sebenarnya pendidikan dengan sistem belajar mandiripun, secara tidak langsung akan membantu dan mengembangkan kecakapan belajar mandiri. Sehingga, pendidikan dengan sistem belajar mandiri dapat menghasilkan pebelajar mandiri. Pada dasarnya, sistem belajar mandiri bukan hanya milik pendidikan jarak jauh. Tapi, dapat diterapkan dalam semua pola pendidikan, termasuk dalam pola pendidikan konvensional. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli seperti : Garrison, Schillereff, Abdullah (2001:1-4), Haris Mujiman (2005:1), Hiemstra (1994:1) dan beberapa pertimbangan di atas, maka belajar mandiri dapat diartikan sebagai usaha individu untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi dan atau kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata. Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners). Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No. 169 mengatakan self-directed learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pembelajaran yang mereka lakukan sendiri”. Individu seperti itu mempunyai keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan, sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya). Belajar mandiri dan siswa mandiri seperti sekeping mata uang yang mempunyai dua muka yang berbeda tetapi merupakan satu kesatuan yang mempunyai suatu fungsi yang saling mendukung
Belajar Mandiri (Self-directed learning) yang ada di sisi sebelah kiri dari model, mengacu pada karakteristik proses belajar mengajar, atau apa yang kita dikenal sebagai faktor eksternal dari si siswa. Di sini mengacu pada bagaimana proses pembelajaran itu dilaksanakan. Siswa mandiri (LearnerSelf-Direction) yang ada di sebelah kanan dari model, mengacu pada individu yang melakukan kegiatan belajar. Termasuk di dalamnya yaitu karakteristik kepribadian siswa, atau sering kita kenal dengan faktor internal dari individu yang bersangkutan. Jika kedua hal tersebut (Self-directed learning dan Learner Self-Direction) dapat tercipta dalam proses pembelajaran, maka individu dapat memiliki kemandirian dalam belajar (self-direction in learning). Dengan demikian Kemandirian belajar (self-direction in learning) dapat diartikan sebagai sifat dan sikap serta kemampuan yang dimiliki siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata.
Burt Sisco dalam Hiemstra (1998) membuat sebuah model yang membantu individu untuk menjadi lebih mandiri dalam belajar. Menurut Sisco ada 6 langkah kegiatan untuk membantu individu menjadi lebih mandiri dalam belajar, yaitu: (1) preplanning (aktivitas sebelum proses pembelajaran), (2) menciptakan lingkungan belajar yang positif, (3) mengembangkan rencana pembelajaran, (4) mengidentifikasi aktivitas pembelajaran yang sesuai, (5) melaksanakan kegiatan pembelajaran dan monitoring, dan (6) mengevaluasi hasil pembelajar individu.
2.Konsepsi Belajar Mandiri
Belajar mandiri bukan berarti belajar sendiri. Seringkali orang menyalahartikan belajar mandiri sebagai belajar sendiri. Kesalahpengertian tersebut terjadi karena pada umumnya mereka yang kuliah di Universitas Terbuka cenderung belajar sendiri tanpa tutor atau teman kuliah. Belajar mandiri berarti belajar secara berinisiatif, dengan ataupun tanpa bantuan orang lain, dalam belajar. Konsep Belajar Mandiri (Self-directed Learning) sebenarnya berakar dari konsep pendidikan orang dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli seperti Garrison tahun 1997, Schillereff tahun 2001, dan Scheidet tahun 2003 ternyata belajar mandiri juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar mandiri sesuai untuk semua jenjang sekolah baik untuk sekolah menengah maupun sekolah dasar dalam rangka meningkatkan prestasi dan kemampuan siswa. Ada beberapa istilah yang mengacu pada pengertian yang sama tentang belajar mandiri. Istilah-istilah tersebut antara lain adalah 1) independent learning, 2) sel-directed learning, 3) autonomous learning.1) Wedemeyer (1973) menjelaskan bahwa belajar mandiri adalah cara belajar yang memberikan derajat kebebasan, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih besar kepada pebelajar dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan belajarnya. Pebelajar mendapatkan bantuan bimbingan dari guru atau orang lain tapi bukan bearti harus bergantung kepada mereka.2)
Rowntree (1992), mengutip pernyataan Lewis dan Spenser (1986) menjelaskan bahwa ciri utama pendidikan terbuka yang menerapkan sistem belajar mandiri adalah adanya komitmen untuk membantu pebelajar memperoleh kemandirian dalam menentukan keputusan sendiri tentang 1) tujuan atau hasil belajar yang ingin dicapainya; 2) mata ajar, tema, topic atau issu yang akan ia pelajari; 3) sumber-sumber belajar dan metode yang akan digunakan; dan 4) kapan, bagaimana serta dalam hal apa keberhasilan belajarnya akan diuji (dinilai). Pengertian senada juga dijelaskan oleh Knowles (1975), belajar mandiri adalah suatu proses dimana individu mengambil inisiatif dengan atau tanpa bantuan orang lain untuk 1) mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri; 2) merumuskan/menentukan tujuan belajarnya sendiri; 3) mengidentifikasi sumber-sumber belajar; memilih dan melaksanakan strategi belajarnya; dan 4) mengevaluasi hasil belajarnya sendiri.
Dari beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri pebelajar diberikan kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam menentukan 1) tujuan belajarnya (apa yang harus dicapai); 2) apa saja yang harus dipelajari dan dari mana sumber belajarnya (materi dan sumber belajar); 3) bagaimana mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana keberhasilan belajarnya diukur (evaluasi).
3. Karakteristik Belajar Mandiri
Belajar mandiri juga tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang diskrit, tapi merupakan suatu kontinum. Inti dari konsep belajar mandiri terletak pada otonomi belajar. Artinya, semakin besar derajat otonomi/kemandirian (peran kendali, inisiatif, atau pengambilan keputusan) diberikan oleh suatu lembaga pendidikan (guru/dosen) kepada pebelajar dalam menentukan keempat komponen diatas, maka semakin tinggi (murni) derajat sistem belajar mandiri yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan tersebut. Moore (1977) seperti dikutip oleh Keegan (1990) menyatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajar dapat dilihat dari tiga aspek 1) kemandirian dalam menentukan tujuan: apakah penentuan tujuan belajar ditentukan oleh guru atau pebelajar? 2) kemandirian dalam menentukan metode belajar: apakah pemilihan dan penggunaan sumber belajar dan media lain keputusannya dilakukan oleh guru atau pebelajar?; 3) kemandirian dalam menentukan evaluasi: apakah keputusan tentang metode evaluasi serta criteria yang digunakan ditentukan guru atau pebelajar? . Menurut Candy (1975), belajar mandiri dapat dipandang baik sebagai proses dan juga tujuan. Dengan kata lain, belajar mandiri dapat dipandang sebagai metode belajar dan juga karakteristik pebelajar itu sendiri. Belajar mandiri sebagai tujuan mengandung makna bahwa setelah mengikuti suatu pembelajaran tertentu pebelajar diharapkan menjadi seorang pebelajar mandiri. Sedangkan belajar mandiri sebagai proses mengandung makna bahwa pebelajar mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu tanpa terlalu tergantung pada guru/tutor (mandiri). Berkaitan dengan hal ini, Candy juga membedakan antara belajar mandiri sebagai modus dalam mengorganisasikan pembelajaran dalam seting formal (learner-control) dengan belajar mandiri sebagai individualisasi (autodidaxy). Konsep pertama, menjelaskan konsep belajar mandiri sebagai sistem belajar dalam seting formal. Sedangkan konsep kedua, menjelaskan belajar mandiri sebagai belajar sendiri secara bebas (otodidak). Jadi, belajar mandiri tidak sama dengan belajar otodidak (belajar sendiri). Belajar mandiri sebagai proses memfokuskan diri pada karakteristik transaksi belajar-mengajar yang melibatkan “needs assessment”, sistem evaluasi, sumber-sumber belajar, peran dan keterampilan fasilitator/tutor. Karakteristik utama pendidikan dengan sistem belajar mandiri adalah tanggung jawab dalam mengendalikan dan mengarahkan belajarnya sendiri berada ditangan pebelajar. Karakteristik umum lainya, menurut Institut for Distance Education of Maryland University, pendidikan dengan sistem belajar mandiri memiliki karakteristik: 1) membebaskan pebelajar untuk tidak harus berada pada satu tempat dalam satu waktu tertentu; 2) disediakannya berbagai bahan (materials) termasuk panduan belajar dan silabus yang rinci serta akses ke semua anggota fakultas (penyelenggara pendidikan) yang memberikan layanan bimbingan, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pebelajar, dan mengevaluasi karya-karya para pebelajar; 3) komunikasi antara pebelajar dengan instruktur atau tutor dicapai melalui satu atau kombinasi dari beberapa teknologi komunikasi seperti telepon, voice-mail, konferensi melalui komputer, surat elektronik, dan surat-menyurat secara reguler.
4. Pengetahuan dan Keterampilan Penting dalam Pembelajaran Mandiri
Terdapat dua hal esensial sehububungan dengan hal ini. Pertama, pembelajaran mandiri mengharuskan siswa memiliki beberapa keterampilan dan pengetahuan tertentu seperti mengambil tindakan, keterampilan bertanya, membuat keputusan, berpikir kreatif dan kritis, memiliki kesadaran diri dan mampu bekerja-sama. Kedua, adalah mengharuskan siswa benar-benar melakukan hal tersebut.
a. Mengambil Tindakan
Intinya adalah dimana anak tidak hanya belajar secara ‘teoritis’ dengan membaca, melihat dan menonton saja, melainkan juga siswa aktif bertindak, ‘learning by doing’ dimana siswa mencari dan menggabungkan informasi secara aktif dari masyarakat,, ruang kelas maupun suber lainya, lalu menggunakannya untuk alasan tertentu sehingga informasi tersebut akan tersimpan dalam ingatan (Souders & Prescot, 1999).
Siswa yang menghimpun menyentuh, memanipulasi objek secara langsung akan menyerap informasi dan menyimpan informasi lebih baik dibandingkan jika mereka hanya mendengar, melihat di televisi, film atau komputer. Misalnya, siswa belajar mengenai pentingnya peninggalan arkeologi dengan menggali tulang-belulang yang tentunya sudah dikondisikan guru. Hal ini akan jauh lebih menarik dan pengalaman tersebut akan lebih tertanam dalam benak siswa dibandingkan misalnya jika siswa hanya membaca mengenai peninggalan arkeologis.
b. Mengajukan Pertanyaan
Brooks & Brooks (1993) menyatakan bahwa untuk bisa mengerti, siswa harus mencari makna. Dan untuk dapat mencari makna, siswa harus punya kesempatan untuk membentuk dan mengajukan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan terbuka akan merangsang kreativitas dan rasa ingin tahu siswa, seperti misalnya: dari mana susu berasal. Dari pertanyaan sederhana ini bisa saja akan menjadi semakin mendalam sampai pada proses pembuatan, pasteurisasi dan mungkin strategi pemasarannya.
c. Membuat Pilihan
Dalam pembelajaran mandiri, siswa tidak hanya memilih rancangan kerja mereka sendiri melainkan juga memutuskan bagaimana mereka berperan serta dalam berpartisipasi sesuai bakat dan minat mereka. Selain itu, mereka juga dapat membuat pilihan akan gaya belajar apa yang sesuai dengan mereka, sehingga hal ini kelak dapat membantu siswa untuk mencapai prestasi atau keunggulan, dan juga membuat kegiatan belajar menjadi menyenangkan dan bermakna.
d. Membangun Kesadaran Diri
Dalam berinteraksi dengan diri sendiri dan orang lain siswa baik secara langsung dan tidak langsung mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri dan orang lain, serta belajar bagaimana untuk mengekspresikan emosi secara wajar sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya. Kesadaran diri yang diartikan sebagai kemampuan untuk merasakan perasaan saat perasaan itu muncul adalah kemampuan khas manusia. Kemampuan ini membuat kendali diri dan regulasi emosi menjadi memungkinkan. Keterampilan ini akan lebih terasah dikala siswa bekerja dan belajar serta berinteraksi dalam sebuah kelompok.
e. Kerja Sama
Ini merupakan komponen penting dalam CTL. Para siswa biasanya belajar dalam kelompok-kelompok kecil dan otonom. Kerjasama dalam kelompok dapat mengurangi hambatan akibat keterbatasan pengalaman, pengetahuan dan cara pandang yang terbatas diantara individu anggota kelompok. Selain itu dalam belajar kelompok, dipelajari pula mengenai bagaimana cara mengemukakan pendapat, menghargai pendapat orang lain, berpikiran terbuka, belajar melakukan dialog atau pertukaran pandangan, serta mengambil keputusan bersama.
5. Proses Belajar Mandiri
Inti dari proses belajar mandiri adalah : PDSA (Plan, Do, Study, Act), konsep yang dikembangkan oleh Edward Deming (1994), dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Siswa secara mandiri menetapkan tujuan
Dengan cara ini para siswa diberi kesempatan untuk menerapkan keahlian personal dan akademik dalam kehidupan sehari-hari dan proses ini membantu mereka mencapai standar akademik yang tinggi.
b. Siswa mandiri membuat rencana
Siswa dalam kelompok secara kolektif menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rencana kerja mereka. Hal ini dapat berupa penyelesaian masalah, menentukan persoalan, atau menciptakan suatu projek. Penentuan langkah kerja ini tergantung dari tujuan kelompok. Dalam dinamika kelompok, berbagai keterampilan seperti pengambilan tindaka, bertanya, menganalisis informasi secara kreatif dan kritis, mengemukakan pendapat sekaligus menghargai pendapat orang lain. Kesemua hal tersebut membantu siswa dalam melakukan pembelajaran mandiri yang lebih matang dan turut membentuk pola pembelajaran sepanjang hayat.
c. Siswa mandiri mengikuti rencana dan mengukur kemajuan diri
Dengan melakukan refleksi dan evaluasi diri, siswa akan belajar dari kesalahan yang mungkin mereka buat dan berusaha memperbaikinya serta melakukan adaptasi-adaptasi yang diperlukan.
d. Siswa mandiri membuahkan hasil akhir
Siswa dapat menentukan bagaimana mereka akan menampilkan hasil akhir dari kelompok mereka, apakah dengan menggunakan portofolio, dengan presentasi atau mungkin dengan suatu pertunjukan (performance). Hal ini kelak bermanfaat bagi kehidupan siswa di masyarakat, keluarga maupun dunia kerja nantinya.
e. Siswa melakukan penilaian autentik
Dengan melakukan penilaian terhadap hasil kerja siswa berupa portofolio, jurnal, presentasi dan performance siswa, guru akan dapat memperkirakan seberapa banyak dan seberapa dalam siswa menguasai materi pelajaran.
Peran Guru dalam Pembelajaran Mandiri
Pada dasarnya guru berperan dalam mengembangkan pengetahuan dan keahlian yang tidak akan siswa dapatkan dari sekedar menjawab pertanyaan factual mengenai topik tertentu. Dedikasi guru sangatlah penting dan tanpa hal ini, proses belajar mandiri akan gagal. Peran guru dalam CTL adalah sebagai ‘ahli’ yang menguasai materi serta memimpin siswa, sekaligus sebagai ‘mentor’ yang mengarahkan dan membimbing siswa.
Keunggulan dan Kelemahan Sistem Belajar Sendiri
a. Keunggulan Sistem Belajar Mandiri ialah :
1. Siswa bebas untuk belajar sesuai dengna gaya belajar mereka sendiri, sesuai dengan kecepatan belajar mereka dan sesuai dengan arah minat dan bakat mereka dalam menggunakan kecerdasan majemuk yang mereka miliki.
2. Menekankan sumber belajar secara lebih luas baik dari guru maupun sumber belajar lain yang memenuhi unsur edukasi.
3. Mengembangkan pengetahuan, keahlian dan kemampuan seseorang secara menyeluruh.
4. Pembelajaran mandiri memberikan siswa kesempatan yang luar biasa untuk mempertajam kesadaran mereka akan lingkungan mereka dan memungkinkan siswa untuk membuat pilihan-pilihan positif tentang bagaimana mereka akan memecahkan masalah yang dihadapi sehari-hari.
5. Pembelajaran mandiri memiliki kelebihan berupa kebebasan bagi siswa untuk memilih materi yang sesuai dengan minat dan kebutuhan.Di samping itu,cara belajar yang dilakukan sendiri juga lebih menyenangkan.

b. Kelemahan Sistem Belajar Mandiri ialah :
1.  Siswa bodoh akan semakin bodoh dan siswa yang pintar akan semakin pintar karena jarang terjadi interaksi satu sama lainnya.
2. Bagi siswa yang malas, maka siswa tersebut sulit untuk mengembangkan kemampuannya atau pengetahuannya.
3. Ada beberapa siswa yang membutuhkan saran dari seseorang untuk memilih materi yang cocok untuknya atau ada beberapa siswa materi apakah yang cocok untuk dia karena siswa yang bersangkutan tidak mengetahui sampai seberapa kemampuannya.

2.1.2    Small group discussion
Diskusi adalah salah satu elemen belajar secara aktif dan merupakan bagian dari banyak model pembelajaran SCL yang lain, seperti CL, CbL, PBL, dan lain-lain. Dalam Small Group Discussion ini mahasiswa peserta kuliah diminta membuat kelompok kecil (5 sampai 10 orang) untuk mendiskusikan bahan yang diberikan oleh dosen atau bahan yang diperoleh sendiri oleh anggota kelompok tersebut.
Dengan aktivitas kelompok kecil, mahasiswa akan belajar:
1.      Menjadi pendengar yang baik
2.      Bekerjasama untuk tugas bersama
3.      Memberikan dan menerima umpan balik yang konstruktif
4.      Menghormati perbedaan pendapat
5.      Mendukung pendapat dengan bukti
6.      Menghargai sudut pandang yang bervariasi (gender, budaya, dan lain-lain).
Aktivitas diskusi kelompok dapat berupa :
1.      Membangkitkan ide
2.      Menyimpulkan poin penting
3.      Mengases tingkat skill dan pengetahuan
4.      Mengkaji kembali topik di kelas sebelumnya
5.      Menelaah latihan, quiz, dan tugas
6.      Memproses outcome pembelajaran pada akhir kelas
7.      Memberi komentar tentang jalannya kelas
8.      Membandingkan teori, isu, dan interpretasi
9.      Menyelesaikan masalah
10.  Brainstorming

Tahapan dari Small Group discussion):
1.        Mahasiswa bertukar informasi dan pendapat
2.        Mahasiswa menjadi aktif dan suport mengekspresikan dan memodifikasikan asumsi dan konklusi serta opininya
3.        SGD sangat membantu mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis,komunikasi,berinteraksi dan keterampilan sosial.

2.1.3        PBL
Ada beberapa definisi dan intepretasi terhadap Problem Based Learning (PBL). Salahsatunya menurut Duch (1995):
Problem Based Learning (PBL) adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran.

Sejarah PBL
Program inovatif PBL pertama kali diperkenalkan oleh Faculty of Health Sciences of McMaster University di Kanada pada tahun 1966. Yang menjadi ciri khas dari pelaksanaan PBL di mcmaster adalah filosofi pendidikan yang berorientasi pada masyarakat, terfokus pada manusia, melalui pendekatan antar cabang ilmu pengetahuan dan belajar berdasar masalah.
Kemudian pada tahun 1976, Maastricht Faculty of Medicine di Belanda menyusul sebagai institusi pendidikan kedokteran kedua yang mengadopsi PBL. Kekhasan pelaksanaan PBL di Maastrich terletak pada konsep tes kemajuan (progress test) dan pengenalan keterampilan medik sejak awal dimulainya program pendidikan. Dalam perkembangannya, PBL telah diadopsi baik secara keseluruhan atau sebagian oleh banyak fakultas kedokteran di dunia

Motivasi menggunakan PBL
Dalam pendidikan keperawatan konvensional, mahasiswa lebih banyak menerima pengetahuan dari perkuliahan dan literatur yang diberikan oleh dosen. Mereka diharuskan mempelajari beragam cabang ilmu keperawatan dan menghapal begitu banyak informasi. Setelah lulus dan menjadi perawat, mereka dihadapkan pada banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya dari pengetahuan yang mereka dapat selama kuliah. Sistem pendidikan keperawatan konvensional cenderung membentuk mahasiswa sebagai pembelajar pasif. Mahasiswa tidak dibiasakan berpikir kritis dalam mengidentifikasi masalah, serta aktif dalam mencari cara penyelesainnya.
Prinsip-prinsip PBL
Dalam PBL, siswa dituntut bertanggungjawab atas pendidikan yang mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu tergantung pada guru. PBL membentuk siswa mandiri yang dapat melanjutkan proses belajar pada kehidupan dan karir yang akan mereka jalani. Seorang guru lebih berperan sebagai fasilitator atau tutor yang memandu siswa menjalani proses pendidikan. Ketika siswa menjadi lebih cakap dalam menjalani proses belajar PBL, tutor akan berkurang keaktifannya. 
Proses belajar PBL dibentuk dari ketidakteraturan dan kompleksnya masalah yang ada di dunia nyata. Hal tersebut digunakan sebagai pendorong bagi siswa untuk belajar mengintegrasikan dan mengorganisasi informasi yang didapat, sehingga nantinya dapat selalu diingat dan diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang akan dihadapi. Masalah-masalah yang didesain dalam PBL memberi tantangan pada siswa untuk lebih mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah secara efektif.
Proses dalam PBL
Siswa dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk menyelesaikan dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki. Pertama-tama mereka mengidentifikasi apa yang harus dipelajari untuk memahami lebih baik permasalahan dan bagaimana cara memecahkannya. 
Langkah selanjutnya, siswa mulai mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, laporan, informasi online atau bertanya pada pakar yang sesuai dengan bidangnya. Melalui cara ini, belajar dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan dan gaya tiap individu. 
Setelah mendapatkan informasi, mereka kembali pada masalah dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari untuk lebih memahami dan menyelesaikannya. 
Di akhir proses, siswa melakukan penilaian terhadap dirinya dan memberi kritik mambangun bagi kolega.

2.1.4        IBL (Inquiry Based Learning)
Dalam IBL, proses pembelajaran dibangun atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa. Di sini para siswa didorong untuk berkolaborasi untuk memecahkan masalah, dan bukannya sekedar menerima instruksi langsung dari gurunya. Tugas guru dalam linkungan belajar berbasis pertanyaan ini bukanlah untuk menyediakan pengetahuan, namun membantu siswa menjalani proses menemukan sendiri pengetahuan yang mereka cari. Jadi, guru berfungsi sebagai fasilitator dan bukan sumber jawaban
IBL didasari atas pemikiran John Dewey, seorang pakar pendidikan Amerika, yang mengatakan bahwa pembelajaran, perkembangan, dan pertumbuhan seorang manusia akan optimal saat mereka dikonfrontasikan dengan masalah nyata dan substantif untuk dipecahkan. Ia percaya bahwa kurikulum dan instruksi seharusnya didasarkan pada tugas dan aktivitas berbasis komunitas yang integratif dan melibatkan para pembelajar dalam tindakan-tindakan sosial pragmatis yang membawa manfaat nyata pada dunia.
Sifat-sifat yang ingin dimunculkan dari para mahasiswa dalam lingkungan IBL ini, menurut Neil Postman dan Charles Weingartner, adalah:
a.       Percaya diri terhadap kemampuan belajarnya.

Perkembangan sejarah keperawatan


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Keperawatan lahir bersamaan dengan diciptakannya manusia oleh Tuhan, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang memerlukan asuhan keperawatan dalam hidupnya. Pada awalnya perawat dianggap sebagai pemberi asuhan, dimana pelakasanaannya dilakukan secara tradisional oleh kelompok, masyarakat, atau badan sosial. Perkembangan keperawatan yang kita ketahui saat ini tidak dapat dipisahkan dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan struktur dan kemajuan peradaban manusia. Kepercayaan terhadap animisme, penyebaran agama-agama besar, dunia serta kodisi sosial ekonomi masyarakat, terjadinya perang, renaissance serta gerakan reformasi turut serta mewarnai perkembangan keperawatan. Dari sejarah kita dapat mengetahui pengalaman orang lain, dan mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut untuk kita gunakan pada masa kini dan masa yang akan datang.  

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perawat dan Perawat Professional
Perawat adalah profesi yang difokuskan pada perawatan individu, keluarga, dan masyarakat sehingga mereka dapat mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir sampai mati.
Perawat bekerja dalam berbagai besar spesialisasi di mana mereka bekerja secara independen dan sebagai bagian dari sebuah tim untuk menilai, merencanakan, menerapkan dan mengevaluasi perawatan. Ilmu Keperawatan adalah bidang pengetahuan dibentuk berdasarkan kontribusi dari ilmuwan keperawatan melalui peer-review jurnal ilmiah dan praktek yang dibuktikan berbasis. Ini merupakan bidang yang dinamis praktek dan penelitian yang didasarkan dalam budaya kontemporer dan kekhawatiran itu sendiri dengan baik mainstream dan subkultur terpinggirkan dalam rangka untuk memberikan perawatan budaya paling sensitif dan kompeten.
Perawat professional adalah perawat yang bertanggung jawab dan berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya (Depkes RI,2002).

2.2 Pengertian Keperawatan dan Perkembangannya.
Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang di dasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsikososial dan spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. (Lokakarya, 1983).
Pada hakekatnya keperawatan merupakan suatu ilmu dan kiat, profesi yang berorientasi pada pelayanan, memiliki empat tingkatan klien (individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat) serta pelayanan yang mencakup seluruh rentang pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Adapun hakekat keperawatan adalah sebagai berikut :
Pertama, sebagai ilmu dan seni. Merupakan suatu ilmu yang dalam aplikasinya lebih kearah ilmu terapan dengan menggunakan pengetahuan, konsep, dan prinsip serta mempertimbangkan seni dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia dari berbagai kelompok ilmu diantaranya ilmu alam dasar, ilmu perilaku, ilmu sosial, ilmu keperawatan klinik dan komunitas serta dalam prakteknya menggunakan pendekatan ilmiah yang beorientasi pada proses penyelesaian masalah dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Kedua, sebagai profesi yang berorientasi kepada pelayanan, maka dalam kesehariannya keperawatan berusaha dengan segala tindakan atau kegiatan bersifat membantu klien atau manusia dalam mengatasi efek dari masalah sehat atau sakit dalam kehidupannya untuk mencapai kesejahteraan.
Ketiga, mempunyai tiga sasaran dalam pelayanan keperawatan, diantaranya individu, keluarga dan masyarakat sebagai klien.
Keempat, pelayanan keperawatan mencakup seluruh rentang pelayanan kesehatan. Dalam pelayanan keperawatan bersama-sama dengan tenaga kesehatan lain memberikan pelayanan kesehatan melalui peningkatan kesehatan dan pembinaan kesehatan, pencegahan penyakit, penentuan diagnosis dini, penyembuhan serta rehabilitasi dan pembatasan kecacatan.
Sejarah Perkembangan Keperawatan Sebagai Profesi.
      Sejarah perkembangan keperawatan seabgai profesi dapat dilihat dari dua tinjauan : pertama, ditinjau dari perkembangan di dunia, dan kedua, perkembangan keperawatan di Indonesia.
a.      Sejarah Perkembangan Keperawatan di Dunia
Pertama, zaman purba, dimana pada zaman ini orang masih percaya pada sesuatu tentang adaya kekuatan mistis yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia, kepercayaan ini dikenal dengan nama animisme, di mana seseorang yang sakit dapat disebabkan karena kekuatan alam atau pengaruh kekuatan gaib sehingga timbul keyakinan bahwa jiwa yang jahat dapat menimbulkan kesakitan dan jiwa yang sehat dapat menimbulkan kesehatan dan kesejahteraan.
Kedua, zaman keagamaan, perkembangan keperawatan ini mulai bergeser kearah spiritual dimanaseseorang yang sakit dapat disebabkan karena adanya dosa atau kutukan Tuhan. Pusat perawtan adalah tempat-tempat ibadah, sehingga pada waktu itu pemimpin agama dapat disebut sebagai tabib yang mengobati pasien karena ada tanggapan yang mampu mengobati adalah pemimpin agam sedangkan pada waktu itu perawat dianggap sebagai budak yang hanya membantu dan bekerja atas perintah pemimpin agama
Ketiga, zaman masehi, keperawatan dimulai pada saat perkembangan agama Nasrani, di mana pada saat itu banyak membentuk diakones (deaconesses), suatu organisasi wanita yang bertujuan untuk mengunjungi orang sakit sedangkan laki-laki diberikan tugas dalam memberikan perawatan untuk mengubur bagi yang meninggal, sehingga pada saat itu berdirilah rumah sakit di Roma seperti Monastic Hospital.
Keempat, zaman permulaan abad 21, pada permulaan abad ini perkembangan keperawatan berubah, tidak lagi dikaitkan dengan faktor keagamaan akan tetapi berubah kepada faktor kekuasaan, mengingat pada masa itu adalah masa perang dan terjadi eksplorasi alam sehingga pesatlah perkembangan pengetahuan.
Kelima, zaman sebelum perang dunia kedua, pada masa perang dunia kedua ini timbul prinsip rasa cinta sesama manusia di mana saling membantu sesame manusia yang membutuhkan. Pada masa sebelu perang dunia kedua ini tokoh keperawatan Florence Nightingale (1820-1910) menyadari pentingnya adanya suatu sekolah untuk mendidik para perawat. Florence Nightingale mempunyai pandangan bahwa dalam mengembangkan keperawatan perlu dipersiapkan pendidikan bagi perawat, ketetntuan jam kerja perawat dan mempertimbangkan pendapat perawat. Usaha Florence adalah dengan  menetapkan struktur dasar di pendidikan perawat diantaranya mendirikan sekolah perawat, menetapkan tujuan pendidikan perawat serta menetapkan pengetahuan yang harus dimiliki para calon perawat.
Keenam, masa selama perang dunia kedua, selama masa ini timbul tekanan bagi dunia pengetahuan dalampenerapan teknologi akibat penderitaan yang panjang sehingga perlu meningkatkan diri dalam tindakan perawat mengingat penyakit dan korban perang yang beraneka ragam.
Ketujuh, masa pascaperang dunia kedua, masa ini masih berdampak bagi masyarakat seperti adanya penderitaan yang panjang akibat perang dunia kedua, dan tuntutan perawat untuk meningkatkan masyarakat sejahtera semakin pesat. Pada masa itu perkembangan perawat dimulai adanya sifat pekerjaan yang semula bersifat individu bergeser ke arah pekerjaan yang bersifat tim. Pada tahun 1948 perawat diakui sebagai profesi sehingga pada saat itu pula terjadi perhatian dalam pemberian penghargaan pada perawat atas tanggung jawabnya dalam bertugas.
Kedelapan, perode tahun 1950, pada masa itu keperawatan sudah mulai menunjukkan perkembangan khususnya penataan pada sistem pendidikan. Hal tersebut terbukti di negara Amerika sudah dimulai pendidikan setingkat master dan doctoral. Kemudian penerapan proses keperawatan sudah mulai dikembangkan dengan memberikan pengertian bahwa perawatan adalah proses yang dimulai dari pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanan dan evaluasi.

b.      Sejarah Perkembangan Keperawatan di Indonesia
Sejarah perkembangan keperawatan di Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh penjajah colonial diantaranya Jepang, Belanda dan Inggris. Dalam perkembangannya di Indonesia dibagi menjadi dua masa diantaranya :
Pertama, masa sebelum kemerdekaan, pada masa itu negara Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Perawat yang berasal dari Indonesia disebut sebagai verpleger dengan dibantu oleh zieken oppaser sebagai penjaga orang sakit, perawat tersebut pertama kali bekerja di rumah sakit Binnen Hospital yang terletak di Jakarta pada tahun 1799 yang ditugaskan untuk memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda, sehingga akhirnya pada masa belanda terbentuklah dinas kesehatan tentara dan dinas kesehatan rakyat. Karena tujuan pendirian rumah sakit hanya untuk kepentingan Belanda, maka tidak diikuti perkembangan keperawatan. Kemudiaan pada masa penjajahan Inggris yaitu Rafless, mereka memperhatikan kesehatan rakyat dengan motto kesehatan adalah milik manusia dan pada saat itu pula telah diadakan berbagai usaha dalam memelihara kesehatan diantaranya mengadakan pencacaran umum, membenahi cara perawatan pasien gangguan jiwa dan memperhatikan kesehatan para tahanan.
Beberapa rumah sakit dibangun khususnya di Jakarta yaitu pada tahun1819, didirikan rumah sakit Stadsverband, kemudian pada tahun 1919 rumah sakit tersebut pindah ke Salemba dan sekarang dikenal dengan RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), kemudian diikuti rumah sakit milik swasta. Pada tahun 1942-1945 terjadi kekalahan tentara sekutu dan kedatangan tentara Jepang. Perkembangan keperawatan mengalami kemunduran.
Kedua, masa setelah kemerdekaan pada tahun 1949 telah banyak rumah sakit yang didirikan serta balai pengobatan dan dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan pada tahun 1952 didirikan sekolah perawat, kemudian pada tahun 1962 telah dibuka pendidikan keperawatan setara dengan diploma. Pada tahnu 1985 untuk pertama kalinya dibuka pendidikan keperawatan setingkat dengan sarjana yang dilaksanakan di Universitas Indonesia dengan nama Program Studi Ilmu Keperawatan dan akhirnya dengan berkembangnya Ilmu Keperawatan, maka menjadi sebuah Fakultas Ilmu Keperawatan dan beberapa tahun kemudian diikuti berdirinya pendidikan keperawatan setingkat S1 di berbagai universitas di Indonesia seperti di Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan lain-lain.

2.3 Keperawatan Sebagai Profesi.
Profesi adalah suatu pekerjaan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Profesi sangat mementingkan kesejahteraan orang lain, dalam konteks bahasan ini konsumen sebagai penerima jasa pelayanan keperawatan professional.
Menurut Webster profesi adalah pekerjaan yang memerlukan pendidikan yang lama dan menyangkut ketrampilan intelaktual.
Kelly dan Joel, 1995 menjelaskan professional sebagai suatu karakter, spirit atau metode professional yang mencakup pendidikan dan kegiatan diberbagai kelompok okupasi yang angotanya berkeinginan menjadi professional. Professional merupakan suatu proses yang dinamis untuk memenuhi atau mengubah karakteristik kearah suatu profesi.
Keperawatan sebagai profesi merupakan salah satu pekerjaan di mana dalam menentukan tindakannya didasari pada ilmu pengetahuan serta memiliki keterampilan yang jelas dalam keahliannya, selain itu sebagai profesi keperawatan mempunyai otonomi dalam kewenangan dan tanggung jawab dalam tindakan serta adanya kode etik dalam bekerjanya kemudian juga berorientasi pada pelayanan dengan melalui pemberian asuhan keperawatan kepada individu, kelompok atau masyarakat.
Bentuk asuhan keperawatan ini sendiri merupakan suatu proses dalam praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada klien pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan, dengan menggunakan metodologiproses keperawatan, berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etik keperawatan dalam lingkup wewenang serat tanggung jawab kepeawatan. Praktek keperawatan juga merupakan tindakan mandiri perawat professional melalui kerjasama berbentuk kolaborasi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya.
Berdasarkan penggunaan asuhan keperawatan dalam praktek keperawatan ini, maka keperawatan keperawatan dapat dikatakan sebagai profesi yang sejajar dengan profesi dokter, apoteker, dokter gigi dan lain-lain. Dengan demikian keperawatan dapat dikatakan sebagai profesi karena memiliki :
1.      Landasan Ilmu Pengetahuan yang jelas (scientific nursing).
Landasan ilmu pengetahuan keperawatan yang dimaksud itu adalah,
a.       Pertama, memiliki cabang ilmu keperawatan di antaranya ilmu keperawatan dasar yang terdiri dari konsep dasar keperawatan, keperawatan professional, komunikasi keperawatan, kepemimpinan dan manajemen keperawatan, kebutuhan dasar manusia, pendidikan keperawatan, pengantar riset keperawatan dan dokumentasi keperawatan.
b.      Kedua, cabang ilmu keperawatan klinik meliputi keperawatan anak, keperawatan maternitas, keperawatan medikal bedah, keperawatan jiwa, keperawatan gawat darurat.
c.       Ketiga, cabang ilmu keperawatan komunitas meliputi keperawatan komunitas, keperawatan keluarga, keperawatan gerontik.
d.      Keempat, kelompok cabang ilmu penunjang meliputi kelompok ilmu humaniora, ilmu alam dasar, ilmu perilaku, ilmu social, ilmu biomedik, ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu kedokteran klinik.

2.      Memiliki kode etik profesi.
Kode etik keperawatan pada tiap negara berbeda-beda akan tetapi pada prinsipnya adalah sama yaitu berlandaskan etika keperawatan yang dimilikinya, dan di negara Indonesia memiliki kode etik keperawatan yang telah ditetapkan pada musyawarah nasional dengan nama kode etik keperawatan Indonesia.

3.      Memiliki lingkup dan wewenang praktek keperawatan berdasarkan standar praktek keperawatan atau standar asuhan keperawatan yang bersifat dinamis.
Lingkup dan wewenang praktek keperawatan ini diatur pada izin praktek keperawatan yang berdasarkan peran dan fungsi perawatan dalam melaksanakan tugas, serta dalam memberikan tindakan berdasarkan standar asuhan keperawatan.
4.      Memiliki organisasi profesi
Saat ini Indonesia memiliki organisasi profesi keperawatan dengan nama PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Sedangkan organisasi keperawatan dunia dengan nama Internasional Council Of Nurses (ICN).

Gary dan Pratt (1991), Kiozer Erb dan Wilkinson (1995) mengemukakan karakteristik professional sebagai berikut :
a)      Konsep misi yang terbuka terhadap perubahan
b)      Penguasaan dan penggunaan pengetahuan teoritis
c)      Kemampuan menyelesaikan masalah
d)     Pengembangan diri secara berkesinambungan
e)      Pendidikan formal
f)       System pengesahan terhadap kompetensi
g)      Penguatan secara legal terhadap standart professional
h)      Praktik berdasarkan etik
i)        Hukum terhadap malpraktik
j)        Penerimaan dan pelayanan pada masyarakat
k)      Perbedaan peran antara pekerja professional dengan pekerjaan lain dan membolehkan praktik yang otonom.

Cerminan nilai professional perawat dalam praktik keperawatan dikelompokkan dalam nilai intelektual dan nilai komitmen moral interpersonal, sebagai berikut :
1.      Nilai intelektual
Nilai intelektual dalam praktik keperawatan terdiri dari  :
a.       Body of Knowledge
b.      Pendidikan spesialisasi (berkelanjutan)
c.       Menggunakan pengetahuan dalam berpikir secara kritis dan kreatif.
2.   Nilai komitmen moral
Pelayanan keperawatan diberikan dengan konsep altruistic, dan memperhatikan kode etik keperawatan. Menurut Beauchamp & Walters (1989) pelayanan professional terhadap masyarakat memerlukan integritas, komitmen moral dan tanggung jawab etik.


Aspek moral yang harus menjadi landasan perilaku perawat
a.       Beneficience
Perawat selalu mengupayakan keputusan yang dibuat berdasarkan keinginan melakukan yang terbaik dan tidak merugikan klien. (Johnstone, 1994)
b.      Fair
Tidak mendeskriminasikan klien berdasarkan agama, ras, sosial budaya, keadaan ekonomi dan sebagainya, tetapi memprlakukan klien sebagai individu yang memerlukan bantuan dengan keunikan yang dimiliki.
c.       Fidelity
Berperilaku caring (peduli, kasih sayang, perasaan ingin membantu), selalu berusaha menepati janji, memberikan harapan yang memadahi, komitmen moral serta memperhatikan kebutuhan spiritual klien.

2.4 Pendidikan Keperawatan.
Jenis dan Jenjang Pendidikan Keperawatan di Indonesia maupun di Luar negeri
  1. Program Pendidikan Diploma III Keperawatan
Pada Jenjang pendidikan,Diploma III bersifat pendidikan profesi,menghasilkan Ahli Madya Keperawatan (A.Md.Kep) sebagai perawat professional pemula. Pendidikan Keperawatan pada jenjang diploma dikembangkan terutama untuk menghasilkan lulusan/ perawat yang memiliki sikap dan menguasai kemampuan keperawatan umum dan  dasar. Pendidikan pada tahap ini lebih menekankan penguasaan sikap, pengetahuan dan keterampilan professional dalam keperawatan.
  1. Program Pendidikan Sarjana Keperawatan
Pendidikan pada tahap ini bersifat pendidikan akademik professional (Pendidikan Keprofesian), menekankan pada penguasaan landasan keilmuan, yaitu ilmu keperawatan dan ilmu-ilmu penunjang,penumbuhan serta pembinaan dan keterampilan professional dalam keperawatan. pada jenjang pendidikan ini, perawat generalis, terdapat dua tahap program, yaitu tahap program akademik yang pada akhir pendidikan mendapat gelar akademik sarjana keperawatan (S.Kep) dan tahap Program Keprofesian yang Pada akhir pendidikan mendapat sebutan profesi “ners”(Ns)


  1. Program Pendidikan Magister keperawatan
Dalam menghadapi tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan kebutuhan dan permintaan masyarakat yang diperkirakan akan terus meningkat, pendidikan pascasarjana dalam bidang keperawatan juga dikembangkan. Hal ini diperlukan agar pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang keperawatan melalui berbagai bentuk penelitian dapat dilaksanakan, dan selanjutnya dimanfaatkan dalam upaya meningkatkan mutu askep.
  1. Program pendidikan spesialis bidang keperawatan
Dalam memenuhi atau menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat dan pembangunan kesehatan di masa depan, dan bertolak pada dalam memberi askep kepada klien untuk menghadapi tantangan global dan sebagai profesi mandiri serta menjawab tantangan masa depan diperlukan pendidikan spesialisasi atau setingkat Masgiter sesuai dengan bidang keahlian

PERKEMBANGAN ORGANISASI PROFESI KEPERAWATAN
  1. ICN (International Council of Nurses) organisasi profesional wanita pertama di dunia didirikan tgl 1 Juli 1899 oleh Mrs.Bedford Fenwick.
            Tujuannya:
    1. memperkokoh silaturahmi perawat seluruh dunia
    2. memberi kesempatan bertemu bagi perawat di seluruh dunia untuk membicarakan masalah keperawatan
    3. menjunjung peraturan dalam ICN agar dapat mencapai kemajuan dalam pelayanan, pendidikan keperawatan berdasarkan kode etik profesi keperawatan.
  1. American Nursing Asosiation (ANA) didirikan tahun 1800 yang anggotanya dari negara-negara bagian, berperan : menetapkan standar praktek keperawatan
  1. Canadian Nurse Association (CNA) tujuan sama dengan ANA memberikan izin praktek keperawatan mandiri
  2. NLN (National League for Nursing) didirikan tahun 1952, bertujuan untuk pengembangan peningkatan mutu layanan keperawatan dan pendidikan keperawatan.
  1. British Nurse Association didirikan tahun 1887, tujannya : memperkuat persatuan dan kesatuan seluruh perawat di Inggris dan berusaha memperoleh pengakuan terhadap profesi keperawatan.

2.5 Kebijakan Pemerintah Dalam Keperawatan.
Kebijakan pemerintah dalam dunia keperawatan dituangkan dalam berbagai hal melalui sistem poloitik yang ada akan sangat berpengaruh dalam sistem pemberian pelayanan kesehatan. Perawat sebagai tenaga professional bertanggung jawab dan berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya, terutama terkait dengan lingkup praktik dan wewenang perawat. Untuk pencapaian Praktik keperawatan tersebut perlu ketetapan (legislasi) yang mengatur hak dan kewajiban perawat yang terkait dengan pekerjaan profesi. Legislasi yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dan perawat. Dalam rangka perlindungan hukum tersebut, perawat perlu diregistrasi, disertifikasi dan memperoleh izin praktik (lisensi).

Peraturan menteri kesehatan republik Indonesia
NOMOR HK.02.02/MENKES/148/1/2010
TENTANG
IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PERAWAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 23 ayat (5) undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan perlu menetapkan peraturan menteri Kesehatan Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.

      Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 2004 Nomor 116, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
      Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah (Lembaran Negara republik Indonesia tahun 2004 nomor 125,tambaran lembaran Negara republic Indonesia nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemrintahan daerah (lembaran Negara republic Indonesia tahun 2008 nomor 59,tambahan lembaran Negara republic  nomor 4844).
      undang-undang  nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan(lembaran Negara republic Indonesia tahun 2009 nomor 144, tambahan lembaran Negara republic Indonesia nomor 5063).
      peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan(lembaran Negara republic Indonesia tahun 1996 nomor 49, tambahan lembaran Negara republic Indonesia nomor 3637).
      peraturan pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah,pemerintahan daerah provinsi ,dan pemerintahan daerah kabupaten/Kota (lembaran Negara republic Indonesia tahun 2007 nomor 82, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4737).
      Peraturan menteri kesehatan  nomor 1575/Menkes/Per/X1/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana  telah diubah terakhir dengan peraturan Menteri Kesehatan.