KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI
Luka
adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses patologis
yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu,
serta merupakan suatu jenis trauma
dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus
sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut (Potter & Perry, 2006).
Luka bakar adalah luka yang dapat timbul akibat
kulit terpajan ke suhu tinggi, syok listrik, atau bahan kimia (Corwin, 2001).
Luka
bakar merupakan luka yang unik diantara bentuk-bentuk luka lainnya karena luka
tersebut meliputi sejumlah besar jaringan mati (eskar) yang tetap berada pada
tempatnya untuk jangka waktu yang lama (Smeltzer & Bare, 2002).
Luka bakar adalah
trauma
yang disebabkan oleh kontak dengan agens, termal, kimiawi, atau
listrik yang
mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Lynn, 2009).
Luka bakar adalah kondisi atau terjadinya luka akibat terbakar,
yang tidak hanya disebabkan oleh panas yang tinggi, tetapi oleh senyawa kimia,
listrik, dan pemajanan (exposure) berlebihan terhadap sinar matahari (Azzis,
2008).
2. EPIDEMIOLOGI
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan/kemajuan
dalam dekade terakhir iniyang mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat
luka bakar. Pusat-pusat perawatan luka bakar telah tersedia cukup baik dengan
anggota tim yang menangani luka bakar terdiri dari berbagai disiplin ilmu yang
saling bekerja sama untuk melakukan perawatan pada pasien dan keluarganya.
Kurang
lebih 2,5 juta orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat setiap tahunnya.
Dari kelompok ini, 200.000 pasien memerlukan penanganan rawat jalan dan 100.000
pasien dirawat di rumah sakit. Sekitar 12.000 meninggal setiap tahunnya. Anak
kecil dan orang tua merupakan populasi yang beresiko tinggi untuk mengalami
luka bakar (Smeltzer & Bare, 2002).
3.
ETIOLOGI
Luka
bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak
langsung, misalnya akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada
kecelakaan rumah tangga. Selain itu luka bakar juga disebabkan oleh ledakan,
aliran listrik, api, zat kimia, uap panas, minyak panas, dan pajanan suhu tinggi dari matahari. Ada lima
mekanisme timbulnya luka bakar, yaitu:
a.
Api : kontak dengan kobaran
api.
b.
Luka bakar cair : kontak dengan
air mendidih, uap panas, dan minyak panas.
c.
Luka bakar kimia : asam akan
menimbulkan panas ketika kontak dengan jaringan organik.
d.
Luka bakar listrik : tidak terlalu
sering terjadi di Indonesia. Bisa timbul dari sambaran petir atau aliran
listrik. Luka bakar listrik memiliki karakteristik yang unikkarena sekalipun sumber panas
(listrik) berasal dari luar tubuh, kebakaran/ kerusakan yang parah
justru terjadi di dalam tubuh.
e.
Luka bakar kontak : kontak langsung
dengan objek
panas, misalnya dengan wajan panas atau knalpot sepeda motor. Hal ini sangat
sering terjadi di Indonesia.
4. KLASIFIKASI
LUKA BAKAR
Menurut
Arif Mutaqqin (2011) penyebab luka bakar dapat dibagi dalam beberapa jenis,
meliputi hal-hal berikut ini :
a.
Luka Bakar
Termal
Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh
karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas atau objek-objek panas
lainnya.
b.
Luka Bakar
Bahan Kimia
Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh
kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia,
lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri
karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak
dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga
dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan
militer.
c.
Luka Bakar
Elektrik
Luka bakar electric (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan
dari energi listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka
dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik
itu sampai mengenai tubuh.
d.
Luka Bakar Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar
dengan sumber radioaktif. Tipe injuri ini seringkali berhubungan dengan
penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan
terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari akibat terpapar
yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.
Berdasarkan berat ringannya luka bakar maka dapat diklasifikasikan menjadi:
a.
Luka
bakar berat (major burn)
·
Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di
bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun.
·
Derajat
II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama.
·
Luka
bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum.
·
Adanya
cedera inhalasi tanpa memperhitungkan luas luka bakar.
·
Luka
bakar listrik tegangan tinggi.
·
Disertai
trauma lainnya.
·
Pasien-pasien
dengan risiko tinggi.
b.
Luka
bakar sedang (moderate burn)
·
Luka
bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang
dari 10 %.
·
Luka
bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40
tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %.
·
Luka
bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai
muka, tangan, kaki, dan perineum.
c.
Luka
bakar ringan (minor burn)
a.
Luka
bakar dengan luas < 15 % pada dewasa.
b.
Luka
bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut.
c.
Luka
bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki,
dan perineum.
Berdasarkan fase
terjadinya, luka bakar diklasifikasikan menjadi:
a. Fase
akut.
Disebut
sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan mengalami
ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat
terjadi segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi
obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca
trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderiat pada fase
akut.Gangguan yang terjadi pada saluran nafas juga dikarenakan adanya eskar melingkar di dada dan trauma multipel di rongga toraks. Pada
fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
cedera termal yang berdampak sistemik, seperti keseimbangan
cairan elektrolit atau syok
hipovolemia.
b. Fase sub akut.
Berlangsung
setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi
menyebabkan proses inflamasi
dan infeksi, problempenutpan
luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju, epitel luas, dan atau pada struktur atau organ-organ
fungsional, keadaan
hipermetabolisme. Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan Multi-system Organ
Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan atau
perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula
dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka).
c. Fase lanjut.
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka
sampai terjadinya maturasi jaringan dan pemulihan fungsi organ-organ
fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang
hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas, serta kontraktur struktur tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama
Luka bakar juga
dapat dibagi berdasarkan kedalaman lukanya. Kedalaman luka bakar ditentukan
oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya
infeksi pada luka. Klasifikasi luka bakar menurut kedalamannya, yaitu:
a. Derajat
I
Superficial burn
adalah luka bakar permukaan yang tidak terlalu
serius dan hanya mengenai lapisan kulit bagian atas. Pajanan hanya merusak
epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan untuk dapat melakukan
regenerasi.
Diakibatkan karena tersengat matahari, terkena api dengan
intensitas yang rendah. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan
dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul
dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat
I adalah sunburn.
b. Derajat
II
Partial thickness burn
(luka bakar parsial) adalah luka bakar yang mengenai sebagian dari ketebalan
kulit. Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih
terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Dapat
diakibatkan karena tersiram
air mendidih dan terbakar oleh api.
Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea,
kelenjar keringat, jaringan kolagen, dan folikel rambut. Dengan adanya jaringan
yang masih sehat, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar
berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah
karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar
derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan
penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar
derajat III.
c. Derajat
III
Full thickness burn
adalah luka bakar yang mengenai seluruh ketebalan kulit. Struktur di bawah
kulit pun sering kali mengalami kerusakan. Kerusakan meliputi seluruh lapisan
kulit, dari subkutis hingga organ atau jaringan yang lebih dalam diakibatkan oleh nyala api, terkena
cairan mendidih dalam waktu yang lama, tersengat arus listrik. Pada keadaan ini
tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar regenerasi sel spontan,
sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok
kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada
dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.
d. Derajat
IV
Luka
bakar ini telah mencapai jaringan otot ataupun tulang, kerusakan yang
ditimbulkan hingga menimbulkan arang pada anggota yang terbakar.
Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas
luka bakar, yaitu:
a.
Estimasi
luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak tangan
individu mewakili 1% luas
permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka
II atau III.
b.
Rumus
9 atau rule of nine untuk orang
dewasa. Pada dewasa digunakan’The Rule of Nines’ yang
dikembangkan oleh Wallace (1940), dimana setiap anggota badan dihitung
berdasarkan kelipatan sembilan ini, yaitu: kepala 9%, tubuh bagian depan 18%,
tubuh bagian belakang 18%, ekstremitas atas 18%, ekstremitas bawah kanan 18%,
ekstremitas bawah kiri 18%, organ genital 1%.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan
kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil.
Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.
5.
PATOFISIOLOGI
Menurut Smeltzer (2002) luka bakar mengakibatkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah sehingga air, klorida dan protein tubuh akan keluar dari dalam
sel dan menyebabkan edema yang dapat berlanjut pada keadaan hipovolemia dan
hemokonsentrasi. Burn shock (syok Hipovolemik) merupakan komplikasi yang sering
terjadi. Jaringan
lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46oC.
Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak.
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Luka bakar menyebabkan
koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak,
pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi akan rusak, dan permeabilitas
vaskuler meningkat. Terjadi kehilangan cairan dan viskositas plasma akan
meningkat dengan resultan pembentukan mikrotrombus. Sel darah yang ada di dalam
vaskuler pun ikut rusak (hemolisis) sehingga dapat terjadi anemia. Eritrosit dan
leukosit yang tetap berada dalam
sirkulasi dan menyebabkan peningkatan hematokrit dan leukosit. Darah dan cairan akan hilang melalui
evaporasi (perubahan molekul misalnya cair menjadi gas) sehingga terjadi
kekurangan cairan. Hal
tersebut mengarah pada
kurangnya volume cairan atau terjadinya syok hipovolemik, tergantung dari
banyaknya cairan yang hilang dan respon tubuh terhadap resusitasi.
Meningkatnya
permeabilitas menyebabkan cairan di intravaskuler berpindah menuju intertisiil
sehingga menimbulkan edema dan bula yang mengandung banyak elektrolit. Pada
saat yang sama juga terjadi vasodilatasi yang menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik dalam kapiler.
Terjadi
pertukaran elektrolit yang abnormal antara sel dan cairan interstisial dimana
natrium masuk kedalam sel dan kalium keluar dari dalam sel serta terjadinya
kekurangan sodium dalam intravaskuler.
Kehilangan
cairan juga diakibatkan oleh penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke
dalam bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan
dari keropeng luka bakar derajat III. Fisiologi syok pada luka bakar akibat
dari lolosnya cairan dalam sirkulasi kapiler secara massive akan
berpengaruh pada sistem kardiovaskular. Curah jantung akan menurun sebelum
perubahan yang signifikan pada volume darah karena berlanjutnya kehilangan
cairan dan berkurangnya volume vaskuler. Penurunan curah jantung diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Keadaan ini merupakan awitan syok luka bakar. Sebagai
respon, sistem saraf simpatik akan melepaskan katekolamin yang meningkatkan
resistensi perifer (vasokontriksi) dan frekuensi denyut nadi.
Respon luka
bakar akan meningkatkan aliran darah ke organ vital serta menurunkan aliran
darah ke perifer dan organ yang tidak vital. Kompensasi terhadap syok dengan
kehilangan cairan membuat tubuh mengadakan respon dengan menurunkan sirkulasi
pada sistem gastrointestinal yang menyebabkan terjadinya ilius paralitik, tachycardia,dan
tachypnea. Respon umum pada luka bakar > 20 % adalah penurunan
aktivitas gastrointestinal. Hal ini disebabkan oleh kombinasi efek respon
hipovolemik dan neurologik serta respon endokrin terhadap adanya perlukan luas.
Pada luka bakar
berat dapat ditemukan ileus paralitik karena syok. Hipermetabolisme dan stres
yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan terjadinya tukak
di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak
peptikum. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling. Distensi
lambung dan nausea dapat mengakibatkan vomitus kecuali jika segera dilakukan
dekompresi lampung (dengan pemasangan sonde lambung). Pemasangan NGT mencegah
terjadinya distensi abdomen, muntah dan aspirasi. Perdarahan lambung yang
terjadi sekunder akibat stres fisiologik yang masif dapat ditandai oleh darah
dalam feses atau vomitus yang berdarah. Semua tanda ini menunjukkan erosi
lambung atau duodenum.
Respon metabolik
pada luka bakar adalah hipermetabolisme yang merupakan hasil dari peningkatan
sejumlah energi, peningkatan katekolamin (hormon stress yang dikeluarkan
kelenjar adrenal sehingga meningkatkan tekanan darah), dimana juga terjadi
peningkatan temperatur, metabolisme, dan hiperglikemi karena meningkatnya
pengeluaran glukosa untuk kebutuhan metabolik yang kemudian mengakibatkan
penipisan cadangan glukosa dan ketidakseimbangan nitrogen oleh karena status
hipermetabolisme dan injuri jaringan tersebut. Fase permulaan luka
bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein pun menjadi
negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi, dan
infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerlukan kalori
tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari
pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat
kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Pertumbuhan pun dapat terhambat
oleh depresi hormon pertumbuhan karena terfokus pada penyembuhan jaringan yang
rusak.
Tachypnea merupakan
kompensasi untuk menurunkan volume vaskuler dengan meningkatkan kebutuhan
oksigen terhadap injuri jaringan dan perubahan yang terjadi pada sistem organ.
Kemudian menurunkan perfusi pada ginjal dan terjadi vasokontriksi vaskuler yang
akan berakibat pada depresi filtrasi glomerulus, oliguri dan dapat
mengakibatkan gagal ginjal.
Bila
luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa
mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan
gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan
cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang. Pembengkakan
terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam.
Cedera pulmoner
dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori yaitu cedera saluran napas
atas terjadi akibat panas langsung, cedera inhalasi di bawah glotis terjadi
akibat menghirup produk pembakaran yang tidak sempurna atau gas berbahaya
seperti karbon monoksida, sulfur oksida, nitrogen oksida, senyawa aldehid,
sianida, amonia, klorin, fosgen, benzena, dan halogen. Komplikasi pulmoner yang
dapat terjadi akibat cedera inhalasi mencakup kegagalan akut respirasi dan ARDS
(adult respiratory distress syndrome). Pada kebakaran ruang tertutup atau bila
luka terjadi di leher dan wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas
karena gas, asap, atau uap panas yang terisap. Edema laring yang ditimbulkannya
dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea,
stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat adanya jelaga. Dapat juga terjadi
keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan mengikat hemoglobin dengan
kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan
ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang
berat terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat
meninggal.Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi
mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini
ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Pertahanan imunologi
tubuh sangat berubah akibat luka bakar. Sebagian basis mekanik, kulit sebagai
mekanisme pertahanan dari organisme yang masuk. Terjadinya gangguan
integritas kulit akan memungkinkan mikroorganisme masuk ke dalam luka. Luka bakar juga sering
tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium yang baik
untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi
karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis.
Padahal, pembuluh darah ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik.
Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari kulit penderita
sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman
di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat berbahaya
karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik. Pada awalnya, infeksi
biasanya disebabkan oleh kokus gram positif yang berasal dari kulit sendiri
atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman gram
negatif, Pseudomonas aeruginosa yang
dapat menghasilkan eksotoksin protease dari toksin lain yang berbahaya dan
terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas
dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi
enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi
membentuk nanah.
Infeksi ringan
dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dengan nanah yang
banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering dengan
perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menadi nekrotik;
akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II menjadi derajat III. Infeksi
kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar
dan menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang didarahinya nanti. Bila luka bakar
dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan terlihat invasi
kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka
bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau
basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah
(bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus.
Syok sepsis dan
kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.Bila
penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen
epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar
keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin
meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik
jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami
kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau
hilang. Bila
luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai wajah sehingga rusak
berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat dan gangguan citra
tubuh. Oleh karena itu, prognosis luka
bakar ditentukan oleh dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan pasien
sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan
mempengaruhi berat luka bakar.
Untuk
mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain
:
· Persentasi
area (luasnya) luka bakar pada
permukaan tubuh.
· Kedalaman
luka bakar.
· Anatomi
lokasi luka bakar.
· Umur
pasien.
· Riwayat
pengobatan yang lalu.
· Trauma
yang menyertai atau bersamaan.
6. MANIFESTASI
KLINIS
- Superficial burn (derajat I), dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
·
Luka hanya mengenai lapisan epidermis.
·
Luka tampak pink cerah sampai merah (eritema ringan sampai berat).
·
Kulit memucat bila ditekan.
·
Edema minimal.
·
Tidak ada blister.
·
Kulit hangat/kering.
·
Nyeri dan berkurang dengan
pendinginan.
·
Discomfort berakhir kira-kira dalam waktu 48 jam.
·
Dapat sembuh spontan dalam 3-7 hari.
- Partial thickness (derajat II), dengan ciri :
Dikelompokan
menjadi 2, yaitu superficial partial thickness dan deep partial thickness.
·
Luka tampak mengenai epidermis dan dermis.
·
Luka tampak merah sampai pink.
·
Terbentuk blister.
·
Edema.
·
Nyeri.
·
Sensitif terhadap udara dingin.
·
Penyembuhan luka : pada superficial
partial thickness penyembuhannya 14 - 21 hari, pada deep partial
thickness penyembuhannya 21 - 28 hari(penyembuhan bervariasi tergantung dari kedalaman
luka dan ada tidaknya infeksi).
- Full thickness (derajat III)
·
Luka tampak mengenai semua lapisan kulit, lemak subkutan dan dapat juga
mengenai permukaan otot, dan persarafan, dan pembuluh darah.
·
Luka tampak bervariasi dari berwarna putih, merah sampai dengan coklat atau
hitam.
·
Tanpa ada blister.
·
Permukaan luka kering dengan tektur kasar/keras.
·
Edema.
·
Sedikit nyeri atau bahkan tidak ada rasa nyeri.
·
Tidak mungkin terjadi penyembuhan luka secara spontan.
·
Memerlukan skin graft.
·
Dapat terjadi scar hipertropik dan kontraktur jika tidak dilakukan
tindakan preventif.
d.
Fourth degree (derajat IV)
·
Luka mengenai semua lapisan kulit, otot dan tulang.
·
Kulit tampak seperti arang, gosong, dan meninggalkan sisa kehitaman bekas
bakaran.
7. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan luka
bakar adalah :
- Hitung
darah lengkap: peningkatan hematokrit awal menunjukkan hemokonsentrasi
sehubungan dengan perpindahan/kehilangan cairan. Anemia menunjukkan
terjadinya lisis sel darah merah.
- Elektrolit
serum: kalium meningkat karena cedera jaringan/kerusakan sel darah merah
dan penurunan fungsi ginjal. Natrium awalnya menurun pada kehilangan air.
- Alkalin
fosfat: peningkatan sehubungan dengan perpindahan cairan
interstitiil/ganguan pompa natrium.
- Urine
analisis: adanya albumin, hemoglobin, dan mioglobulin menunjukkan
kerusakan jaringan dalam dan kehilangan protein.
- Foto
rontgen dada : untuk memastikan cedera inhalasi.
f. Scan
paru : untuk menentukan luasnya cedera inhalasi.
g. EKG
untuk mengetahui adanya iskemik miokard/disritmia pada luka bakar listrik.
h. BUN
dan kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal.
i.
Kadar karbon monoksida
serum meningkat pada cedera inhalasi.
j.
Bronkoskopi membantu
memastikan cedera inhalasi asap.
k. Albumin
serum dapat menurun karena kehilangan protein pada edema cairan.
l.
Fotografi luka bakar:
memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar selanjutnya (Doenges, 2000).
8.
PEMERIKSAAN
FISIK
a. Inspeksi:
·
Menentukan derajat dan kedalaman luka bakar (baik
menggunakan metode telapak tangan, rule
of nine).
·
Area kulit yang tidak terbakar mungkin dingin dan
pucat.
·
Area kulit yang terbakar akan melepuh, ulkus,
nekrosis, atau jaringan parut tebal, berwarna kemerahan, terdapat bula, atau
kerusakan seluruh jaringan kulit.
·
Mukosa bibir kering.
·
Tanda-tanda inflamasi, seperti lubor, dolor, tumor,
kalor, fungsiolesa.
·
Pasien tampak meringis karena nyeri.
·
Pasien tampak lemah.
·
Terdapat edema.
·
Pasien tampak dispnea.
·
Pasien tampak sedikit berkemih.
·
Distensi
abdomen, muntah dan aspirasi.
·
Perdarahan lambung ditandai dengan feses atau vomitus yang
berdarah
b. Palpasi:
·
Denyut nadi (frekuensi meningkat dan lemah).
·
Suhu pada luka.
c.
Perkusi :
·
Perkusi abdomen hipertimpani.
·
Perkusi paru hipersonor.
d.
Auskultasi:
·
Auskultasi bunyi nafas pada paru (Stridor, wheezing,
ronchi).
·
Auskultasi bising usus menurun.
9.
INDIKASI
RAWAT INAP PASIEN LUKA BAKAR
Menurut American Burn Association, seorang
pasien diindikasikan untuk dirawat inap bila:
a.
Luka
bakar derajat III > 5%.
- Luka bakar derajat II >
10%.
- Luka bakar derajat II atau III
yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki, genitalia, perineum,
kulit di atas sendi utama) Ã
risiko signifikan untuk masalah kosmetik dan kecacatan fungsi.
- Luka bakar sirkumferensial di
thoraks atau ekstremitas.
- Luka bakar signifikan akibat
bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor lainnya, atau adanya
kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya.
- Adanya trauma inhalasi.
10. PENATALAKSANAAN
LUKA BAKAR
Berbagai macam respon sistem organ
yang terjadi setelah mengalami luka bakar menuntut perlunya pendekatan antar
disiplin. Perawat bertanggung jawab untuk mengembangkan rencana perawatan yang
didasarkan pada pengkajian data yang merefleksikan kebutuhan fisik dan
psikososial pasien dan keluarga atau orang lain yang dianggap penting.Secara klinis pasien luka bakar dapat dibagi kedalam 3 fase, yaitu:
a. Fase
Emergent (Resusitasi)
Fase
emergensi dimulai pada saat terjadinya injuri dan diakhiri dengan membaiknya
permeabilitas kapiler yang biasanya terjadi pada 48-72 jam setelah injuri.
Tujuan utama pemulihan selama fase ini adalah untuk mencegah syok hipovolemik
dan memelihara fungsi dari organ vital. Yang termasuk ke dalam fase emergensi
adalah (1)perawatan sebelum di rumah
sakit, (2) penanganan di bagian emergensi, dan (3) periode resusitasi. Hal tersebut akan dibahas berikut
ini:
1) Perawatan
sebelum di rumah sakit (pre-hospital care)
Perawatan
sebelum pasien dibawa ke rumah sakit dimulai pada tempat kejadian luka bakar
dan berakhir ketika sampai di institusi pelayanan emergensi. Pre-hospital care dimulai dengan
memindahkan/menghindarkan pasien dari sumber penyebab luka bakar dan atau
menghilangkan sumber panas.
a)
Lakukan langkah 6C, yaitu: clothing, cooling, cleaning, chemoprophylaxis, covering and comforting (contoh pengurang nyeri).
Untuk pertolongan pertama dapat dilakukan langkah clothing dan cooling,
kemudian dilakukan pada fasilitas kesehatan.
·
Clothing: singkirkan semua pakaian
yang panas atau terbakar. Bahan pakaian yang menempel dan tak dapat dilepaskan
maka dibiarkan untuk sampai pada fase cleaning.
·
Cooling: Dinginkan daerah yang
terkena luka bakar dengan menggunakan air mengalir selama 20 menit, hindari
hipotermia (penurunan suhu di bawah normal, terutama pada anak dan orang tua).
Cara ini efektif sampai dengan 3 jam setelah kejadian luka bakar. Kompres
dengan air dingin sebagai analgesik untuk luka yang terlokalisasi. Jangan
pergunakan es karena es menyebabkan pembuluh darah vasokonstriksi sehingga
justru akan memperberat derajat luka dan risiko hipotermia. Untuk luka bakar
karena zat kimia dan luka bakar di daerah
mata, siram dengan air mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih.
Bila penyebab luka bakar berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari
kulit baru disiram air yang mengalir.
·
Cleaning: pembersihan dilakukan
dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa sakit. Dengan membuang jaringan yang
sudah mati, proses penyembuhan akan lebih cepat dan risiko infeksi berkurang.
·
Chemoprophylaxis: pemberian
anti tetanus, dapat diberikan pada luka yang lebih dalam dari superficial partial-thickness. Pemberian
krim silver sulvadiazin untuk penanganan infeksi dapat diberikan kecuali pada
luka bakar superfisial. Tidak boleh diberikan pada wajah, riwayat alergi sulfa,
perempuan hamil, bayi baru lahir, ibu menyususi dengan bayi kurang dari 2
bulan.
·
Covering: penutupan luka bakar dengan
kassa. Dilakukan sesuai dengan derajat luka bakar. Luka bakar superfisial tidak
perlu ditutup dengan kasa atau bahan lainnya. Pembalutan luka yang dilakukan
setelah pendinginan bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas yang terjadi
akibat hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega,
minyak, oli atau larutan lainnya, menghambat penyembuhan dan meningkatkan
risiko infeksi.
·
Comforting: dapat dilakukan pemberian
pengurang rasa nyeri, berupa paracetamol dan codein (PO-per oral)20-30mg/kg,
morphine (IV-intra vena) 0,1mg/kg diberikan dengan dosis titrasi bolus,
morphine (I.M-intramuskular) 0,2mg/kg.
b)
Kaji ABC (airway, breathing, circulation):
·
Airway
and Breathing
Perhatikan
adanya stridor (mengorok), suara serak, dahak berwana jelaga (black sputum),
gagal napas, bulu hidung yang terbakar, bengkak pada wajah, dan edema laring.
·
Circulation
Penilaian terhadap keadaan cairan harus dilakukan. Pastikan luas luka bakar
untuk perhitungan pemberian cairan. Pemberian cairan intravena diberikan
bilaluas luka bakar >10%. Bila kurang dari itu dapat diberikan cairan
melalui oral. Cairan merupakan komponen penting karena pada luka bakar terjadi
kehilangan cairan baik melalui penguapan karena kulit yang berfungsi sebagai
proteksi sudah rusak dan mekanisme dimana terjadi perembesan cairan dari
pembuluh darah ke jaringan sekitar pembuluh darah yang mengakibatkan timbulnya
pembengkakan (edema). Bila hal ini terjadi dalam jumlah yang banyak dan tidak
tergantikan maka volume cairan dalam pembuluh darah dapat berkurang dan
mengakibatkan kekurangan cairan yang berat dan mengganggu fungsi organ-organ
tubuh.
c)
Kaji adanya trauma yang lain
d)
Pertahankan panas tubuh
e)
Perhatikan
kebutuhan untuk pemberian cairan intravena
f)
Transportasi (segera kirim pasien ke
rumah sakit).
2) Penanganan
dibagian emergensi
Perawatan di
bagian emergensi merupakan kelanjutan dari tindakan yang telah diberikan pada
waktu kejadian. Jika pengkajian dan atau penanganan yang dilakukan tidak
adekuat, maka pre hospital care diberikan di bagian emergensi. Penanganan luka
(debridemen dan pembalutan) tidaklah diutamakan bila ada masalah-masalah lain
yang mengancam kehidupan pasien, maka masalah inilah yang harus diutamakan.
a)
Penanganan Luka Bakar Ringan
Perawatan
pasien dengan luka bakar ringan seringkali diberikan dengan pasien rawat jalan.
Dalam membuat keputusan apakah pasien dapat dipulangkan atau tidak adalah
dengan memperhatikan kemampuan pasien untuk dapat menjalankan atau mengikuti
intruksi-instruksi dan kemampuan dalam melakukan perawatan secara mandiri (self
care) dan lingkungan rumah. Apabila pasien mampu mengikuti instruksi dan
perawatan diri serta lingkungan di rumah mendukung terjadinya pemulihan maka
pasien dapat dipulangkan. Perawatan di bagian emergensi terhadap luka bakar minor, meliputi:
menagemen nyeri, profilaksis tetanus, perawatan luka tahap awal dan pendidikan
kesehatan.
v Manajemen
nyeri
Manajemen
nyeri seringkali dilakukan dengan pemberian dosis ringan morphine atau
meperidine dibagian emergensi, sedangkan analgetik oral diberikan untuk digunakan
oleh pasien rawat jalan.
v Profilaksis
tetanus
Petunjuk
untuk pemberian profilaksis tetanus adalah sama pada penderita luka bakar baik
yang ringan maupun tipe injuri lainnya. Pada pasien yang pernah mendapat
imunisasi tetanus tetapi tidak dalam waktu 5 tahun terakhir dapat diberikan
boster tetanus toxoid. Untuk pasien yang tidak diimunisasi dengan tetanus human
immune globulin dan karenanya harus diberikan tetanus toxoid yang pertama dari
serangkaian pemberian imunisasi aktif dengan tetanus toxoid.
v Perawatan
luka awal
Perawatan
luka untuk luka bakar ringan terdiri dari membersihkan luka (cleansing)
yaitu debridemen jaringan yang mati; membuang zat-zat yang merusak (zat kimia,
tar, dan lain-lain); dan pemberian/penggunaan krim atau salep antimikroba topikal
dan balutan secara steril. Selain itu juga perawat bertanggung jawab memberikan
pendidikan tentang perawatan luka di rumah dan manifestasi klinis dari infeksi
agar pasien dapat segera mencari pertolongan. Pendidikan lain yang diperlukan
adalah tentang pentingnya melakukan latihan range of motion (ROM) secara
aktif untuk mempertahankan fungsi sendi agar tetap normal dan untuk menurunkan
pembentukan edema dan kemungkinan terbentuknya scar. Dan perlunya evaluasi atau penanganan follow up juga harus dibicarakan
dengan pasien pada waktu itu.
v Pendidikan/penyuluhan
kesehatan
Pendidikan
tentang perawatan luka, pengobatan, komplikasi, pencegahan komplikasi, diet,
berbagai fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat yang dapat di kunjungi jika
memerlukan bantuan dan informasi lain yang relevan perlu dilakukan agar pasien
dapat menolong dirinya sendiri.
b)
Penanganan Luka Bakar Berat
Untuk pasien
dengan luka yang luas, maka penanganan pada bagian emergensi akan meliputi
reevaluasi ABC (jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi) dan trauma
lain yang mungkin terjadi, resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang),
pemasangan kateter urine, pemasangan nasogastric tube (NGT),
pemeriksaan vital signs dan laboratorium, management nyeri, propilaksis
tetanus, pengumpulan data, dan perawatan luka.
v Reevaluasi jalan nafas, kondisi pernafasan,
sirkulasi dan trauma lain yang mungkin terjadi.Menilai kembali keadaan jalan
nafas, kondisi pernafasan, dan sirkulasi untuk lebih memastikan ada tidaknya kegawatan dan untuk
memastikan penanganan secara dini. Selain itu, melakukan pengkajian ada
tidaknya trauma lain yang menyertai cedera luka bakar seperti patah tulang,
adanya perdarahan dan lain-lain perlu dilakukan agar dapat dengan segera
diketahui dan ditangani.
Luka bakar pada daerah orofaring dan
leher membutuhkan tatalaksana intubasi (pemasangan pipa saluran napas ke dalam
trakea/batang tenggorok) untuk menjaga jalan napas yang adekuat/tetap terbuka.
Intubasi dilakukan di fasilitas kesehatan yang lengkap.Intubasi dilakukan di
fasilitas kesehatan yang lengkap.
·
Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum
edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan
jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas.
·
Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya
saja dianggap terlalu agresif dan menimbulkan morbiditas lebih besar dibanding
intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space, memperbesar tidal volume,
lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat berbicara jika
dibanding dengan intubasi.
·
Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan
kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan nafas yang menghalangi suplai
oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat menimbulkan
stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat
vasodilator dan modulator sepsis.
·
Perawatan jalan nafas
·
Penghisapan sekret (secara berkala)
·
Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara
yang lebih baik didalam lumen jalan nafas dan mencairkan sekret kental sehingga
mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya menggunakan cairan dasar natrium
klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu bias
ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat (menurunkan
produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan steroid
(masih kontroversial).
·
Bilasan bronkoalveolar
·
Perawatan rehabilitatif untuk respirasi.
·
Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk
memperbaiki kompliansi paru.
v Resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang)
Resusitasi
cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di
seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia jaringan tidak
terjadi pada setiap organ sistemik. Dengan adanya resusitasi cairan yang tepat,
kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi
fisiologi dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin. Cairan
infus yang diberikan adalah cairan kristaloid (ringer laktat, NaCl 0,9%).
Kristaloid dengan dekstrosa di dalamnya dipertimbangkan untuk diberikan pada
bayi dengan luka bakar.
Bagi pasien dewasa dengan luka bakar lebih dari 15 %, maka resusitasi
cairan intravena umumnya diperlukan. Pemberian intravena perifer dapat
diberikan melalui kulit yang tidak terbakar pada bagian proximal dari
ekstremitas yang terbakar. Sedangkan untuk pasien yang mengalami luka bakar
yang cukup luas atau pada pasien dimana tempat-tempat untuk pemberian intravena
perifer terbatas, maka dengan pemasangan kanul (cannulation) pada vena
central (seperti subclavian, jugular internal atau eksternal, atau femoral)
oleh dokter mungkin diperlukan. Luas atau persentasi luka bakar harus
ditentukan dan kemudian dilanjutkan dengan resusitasi cairan. Resusitasi cairan
dapat menggunakan berbagai formula yang telah dikembangkan seperti pada tabel
formula resusitasi cairan berikut.
Resusitasi
cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada beberapa cara untuk
menghitung kebutuhan cairan ini:
· Cara
Evans
1.
Luas luka bakar (%) x
BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2.
Luas luka bakar (%) x
BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
3.
2.000 cc glukosa 5% per
24 jam
Separuh
dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada
hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
·
Cara Baxter
Luas
luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh
dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16
jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama.
Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
·
Cara Parkland
3-4
cc x berat badan (kg) x %TBSA + cairan rumatan (maintenance per 24 jam). Cairan
rumatan adalah 4cc/kgBB dalam 10 kg pertama, 2cc/kgBB dalam 10 kg ke 2
(11-20kg) dan 1cc/kgBB untuk tiap kg diatas 20 kg. Cairan formula Parkland (3-4ccx kgBB x %TBSA) diberikan
setengahnya dalam 8 jam pertama dan setengah sisanya dalam 16 jam berikutnya.
Pengawasan kecukupan cairan yang diberikan dapat dilihat dari produksi urin
yaitu 1cc/kgBB/jam.
Periode
resusitasi diakhiri bila integritas kapiler kembali mendekati keadaan normal
dan perpindahan cairan yang banyak mengalami penurunan. Banyaknya/jumlah cairan yang pasti didasarkan pada berat badan pasien dan
luasnya injury luka bakar. Faktor lain yang menjadi pertimbangan meliputi
adalah adanya inhalasi injuri, keterlambatan resusitasi awal, atau kerusakan
jaringan yang lebih dalam. Faktor-faktor ini cenderung meningkatkan
jumlah/banyaknya cairan intravena yang dibutuhkan untuk resusitasi adekuat di
atas jumlah yang telah dihitung. Dengan pengecualian pada formula Evan dan
Brooke, cairan yang mengandung koloid tidak diberikan selama periode ini karena
perubahan-perubahan pada permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran
cairan yang banyak mengandung protein kedalam ruang interstitial, sehingga
meningkatkan pembentukan edema.
Selama 24
jam kedua setelah luka bakar, larutan yang mengandung koloid dapat diberikan
dengan dextrose 5% dan air dalam jumlah yang bervariasi.Sangat penting untuk
diingat bahwa senmua formula resusitasi yang ada hanyalah sebagai alat bantu
dan harus disesuaikan dengan respon fisiologis pasien. Keberhasilan atau
keadekuatan resusitasi cairan pada orang dewasa ditandai dengan stabilnya vital
signs, adekuatnya output urine, dan nadi perifer yang dapat diraba.
v Pemasangan
kateter urine. Pemasangan kateter harus dilakukan untuk mengukur produksi urine
setiap jam. Output urine merupakan indikator yang reliable untuk menentukan keadekuatan
dari resusitasi cairan.
v Pemasangan nasogastric
tube (NGT)
Pemasangan
NGT bagi pasien luka bakar 20 % -25 % atau lebih perlu dilakukan untuk mencegah
emesis dan mengurangi resiko terjadinya aspirasi. Disfungsi ganstrointestinal
akibat dari ileus dapat terjadi umumnya pada pasien tahap dini setelah luka
bakar. Oleh karena itu semua pemberian cairan melalui oral harus dibatasi pada
waktu itu.Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya
dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak
sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi
yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat, dan
25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian
diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS
dan MODS.
v Pemeriksaan vital
signs dan laboratorium
Vital signs
merupakan informasi yang penting sebagai data tambahan untuk menentukan adekuat
tidaknya resuscitasi. Pemeriksaan laboratorium dasar akan meliputi pemeriksaan
gula darah, BUN (blood urea nitrogen), creatinin, elektrolit serum, dan kadar
hematokrit. Kadar gas darah arteri (analisa gas darah), COHb juga harus
diperiksa, khususnya jika terdapat injuri inhalasi. Tes-tes laboratorium
lainnya adalah pemeriksaan x-ray untuk mengetahui adanya fraktur atau trauma
lainnya mungkin perlu dilakukan jika dibutuhkan. Monitoring EKG terus menerus
haruslah dilakukan pada semua pasien dengan LB berat, khususnya jika disebabkan
oleh karena listrik dengan voltase tinggi, atau pada pasien yang mempunyai
riwayat iskemia jantung atau disritmia.
v Manajemen
nyeri
Penanganan
nyeri dapat dicapai melalui pemberian obat narcotik intravena, seperti
morphine. Pemberian melalui intramuskuler atai subcutan tidak dianjurkan karena
absorbsi dari jaringan lunak tidak cukup baik selama periode ini bila
hipovolemia dan perpindhan cairan yang banyak masih terjadi. Demikian juga pemberian
obat-obatan untuk mengatasi secara oral tidak dianjurkan karena adanya
disfungsi gastrointestial.
Umumnya
untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin dalam dosis
kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan ‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam,
sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang
menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan
terapi penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa.
v Propilaksis
tetanus pada pasien luka bakar adalah sama, baik pada luka bakar berat maupun
luka bakar yang ringan.
v Pengumpulan
data merupakan tanggung jawab yang sangat penting bagi tim yang berada di ruang
emergensi. Kepada pasien atau yang lainnya
perlu ditanyakan tentang kejadian kecelakaan luka bakar tersebut. Informasi
yang diperlukan meliputi waktu injuri, tingkat kesadaran pada waktu kejadian,
apakah ketika injuri terjadi pasien berada di ruang tertutup atau terbuka,
adakah truma lainya, dan bagaimana mekanisme injurinya. Jika pasien terbakar
karena zat kimia, tanyak tentang zat kimia apa yang menjadi penyebabnya,
konsentrasinya, lamanya terpapar dan apakah dilakuak irigari segera setelah
injuri. Jika pasien menderita luka bakar karena elektrik, maka perlu ditanyakan
tentang sumbernya, tipe arus dan voltagenya yang dapat digunakan untuk
menentukan luasnya injuri. Informasi lain yang diperlukan adalah tentang
riwayat kesehatan pasien masa lalu seperti kesehatan umum pasien.
v Perawatan
luka diarahkan untuk
meningkatkan penyembuhan luka. Perawatan luka sehari-hari meliputi membersihkan
luka, debridemen, dan pembalutan luka. Perawatan luka dibagian emergensi
terdiri-dari penutupan luka dengan sprei kering, bersih dan baju hangat untuk
memelihara panas tubuh. Pasien dengan luka bakar yang mengenai kepala dan wajah
diletakan pada posisi kepala elevasi dan semua ekstremitas yang terbakar dengan
menggunakan bantal sampai diatas permukaan jantung.
v Terapi
Pembedahan pada luka bakar
1.
Eksisi dini
Eksisi
dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris (debridement) yang dilakukan dalam waktu
kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari
tindakan ini adalah:
·
Mengupayakan proses
penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan dibuangnya jaringan nekrosis,
debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan berlangsung lebih lama dan segera
dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi
edema, hal ini akan menghambat aliran darah dari arteri yang dapat
mengakibatkan terjadinya iskemi pada jaringan tersebut ataupun menghambat
proses penyembuhan dari luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya
eskar, semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.
·
Memutus rantai proses
inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi-komplikasi luka bakar
(seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis yang melepaskan “burn toxic” (lipid protein complex) yang menginduksi dilepasnya
mediator-mediator inflamasi.
·
Semakin lama penundaan
tindakan eksisi, semakin banyaknya proses angiogenesis yang terjadi dan
vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan banyaknya darah keluar saat
dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan
resiko kolonisasi mikroorganisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar yang melembut
membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan
ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian cairan melalui
infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II dalam
dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin grafting” (dianjurkan “split
thickness skin grafting”). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi
mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Kriteria penatalaksanaan eksisi
dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
-
Kasus luka bakar dalam
yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih dari 3 minggu.
-
Kondisi fisik yang
memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
-
Tidak ada masalah
dengan proses pembekuan darah.
-
Tersedia donor yang
cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang timbul.
2.
Skin
grafting
Skin grafting
adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini adalah
menghentikan evaporate heat loss,
mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu, melindungi
jaringan yang terbuka.
Skin
grafting harus dilakukan secepatnya setelah
dilakukan eksisi pada luka bakar pasien. Kulit yang digunakan dapat berupa
kulit produk sintesis, kulit manusia yang berasal dari tubuh manusia lain yang
telah diproses maupun berasal dari permukaan tubuh lain dari pasien
(autograft). Daerah tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah donor autograft
adalah paha, bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien secara autograft
dapat dilakukan secara split thickness
skin graft atau full thickness skin
graft. Bedanya dari teknik-teknik tersebut adalah lapisan-lapisan kulit
yang diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor
tersebut, kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang-lubang
pada kulit donor (seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar 1
: 1 sampai 1 : 6 dengan mesin. Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan dari kulit donor tergantung dari lokasi
luka yang akan dilakukan grafting,
usia pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya pengambilan kulit donor
sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan dengan mesin ‘dermatome’ ataupun dengan manual dengan
pisau Humbly atau Goulian. Sebelum
dilakukan pengambilan donor diberikan juga vasokonstriktor (larutan epinefrin)
dan juga anestesi.
11.
KOMPLIKASI
a. Syok
hipovolemik
b. Kekurangan
cairan dan elektrolit
c. Hypermetabolisme
d. Infeksi
e. Gagal
ginjal akut
f. Masalah
pernapasan akut; injury inhalasi, aspirasi gastric, pneumonia bakteri, edema.
g. Paru
dan emboli
h. Sepsis
pada luka
i.
Ilius paralitik
j.
SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome)
bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada SIRS
adalah gagal napas, Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS), dan pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan
saluran cerna, dan stres gastritis, anemia, trombosis vena dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT),
hiperglikemia, dan Disseminated
intravascular coagulation (DIC).
12.
PROGNOSIS
Prognosis luka bakar dipengaruhi
oleh:
- Usia. Orang berusia
sangat muda dan tua memiliki risiko mortalitas lebih tinggi. Anak-anak diatas 5
tahun dan dewasa muda
kurang dari 40 tahun mempunyai peluang
hidup lebih besar.
- Dalam
dan luasnya luka bakar, serta ada tidaknya cedera inhalasi yang menyertai.
- Penyulit
juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar
antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta
parut hipertrofik dan kontraktur.
KONSEP
DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.
PENGKAJIAN
Proses pengkajian keperawatan intensif menggunakan pengkajian
tentang riwayat sakit dan kesehatan pasien, 6B, dan head to toe, yaitu:
a.
Riwayat
sakit dan kesehatan pasien
·
Keluhan
utama: kaji keluhan utama pasien apakah terdapat luka bakar di
muka, dada, punggung, lengan kiri, tungkai kanan, tungkai kiri (mungkin
terdapat keluhan nyeri apabila luka bakar derajat I dan II).
·
Riwayat
penyakit saat ini: kaji penyebab pasien terkena luka bakar apakah akibat terkena
tegangan listrik, benda panas, zat kimia, cairan atau uap panas. Dikaji pula
keluhan adanya nyeri, kedalaman luka bakar, berat ringannya luka bakar pasien,
tanda syok hipovolemik, cedera inhalasi, dan penurunan TTV yang mengindikasikan
penurunan curah jantung, perhitungan luas luka bakar menggunakan rule of 9 atau Lund and Browder chart, nyeri
epigastrium, nausea/vomiting, rasa panas pada kulit, tidak adanya peristaltik
usus, distensi abdomen, perubahan warna urine dan volume urine kurang dari
normal, urin pekat perlu diamati.
·
Riwayat
penyakit sebelumnya: kaji apakah pasien pernah di rawat
di rumah sakit sebelumnya atau tidak dan apakah pasien pernah menderita
penyakit kronis atau tidak.
- Breathing
Data
yang bisa dikaji yaitu kepatenan jalan nafas, ada tidaknya obstruksi, suara
nafas, nafas spontan atau tidak, irama nafas, pola nafas (teratur atau tidak),
respiartory rate, batuk (ada atau tidak), ada retraksi otot bantu pernafasan
atau tidak. Kemungkinan jalan nafas tidak paten, adanya obstruksi pada jalan
nafas (kemungkinan karena adanya cedera inhalasi dan edema laring), suara napas
stridor atau ronchi, suara serak,terjadi
peningkatan kerja pernapasan RR >16-20x/menit, sesak napas,dan dahak
berwarna gelap.
- Blood
Data
yang bisa dikaji yaitu denyut nadi, tekanan darah, CRT, suhu ekstremitas
(akral), ada tidaknya perdarahan, ada tidaknya sianosis, turgor kulit, riwayat
kehilangan cairan melalui luka bakar, terapi cairan intravena yang digunakan.
Data yang ditemukan mungkin tekanan
darah menurun, nadi meningkat cepat dengan denyutan
lemah (penurunan curah jantung), sianosis perifer, tanda–tanda kekurangan
volume cairan atau syok hipovolemik, seperti turgor buruk, kulit kering.
- Brain
Data
yang bisa dikaji yaitu tingkat kesadaran, refleks pupil, refleks cahaya, ada
tidaknya ansietas atau gelisah. Hal yang ditemukan pada pasien mungkin erjadi penurunan kesadaran, adanya
kelemahan, keletihan, ansietas dan agitasi.
- Bladder
Data
yang bisa dikaji yaitu adanya penggunaan kateter atau tidak, frekuensi BAK,
keluhan saat BAK, kelancaran dalam BAK. Kemungkinan pada pasien luka bakar
menggunakan kateter untuk mengukur output cairan.
- Bowel
Data
yang bisa dikaji yaitu tinggi badan, nafsu makan pasien, keluhan (mual, muntah,
sulit menelan), Frekuensi BAB dan konsistensinya, pemakaian NGT atau tidak.
Pada pasien dengan luka bakar umumnya menggunakan NGT untuk dekompresi lambung
dan memnuhi asupan nutrisi pasien jika timbul kerusakan menelan akibat efek
luka bakar.
- Bone
Data
yang bisa dikaji yaitu ada tidaknya nyeri, kekuatan otot, luasnya luka bakar,
kebutuhan perawatan diri pasien. Pada pasien dengan luka bakar, mungkin dapat
ditemukan ketergantungan pasien dalam pemenuhan perawatan diri, nyeri, dan
luasnya luka bakar bervariasi tergantung daerah yang terkena.
- Head to Toe
(pemeriksaan fisik), hal-hal yang mungkin ditemukan, meliputi:
1)
Kulit,
Rambut dan Kuku
·
Distribusi rambut
pasien mungkin tidak merata karena terbakar.
·
Warna kulit: pucat,
kemerahan, kehitaman bekas luka bakar.
·
Akral dingin bila
perfusi perifer buruk.
·
Terdapat oedema.
·
Terdapat bula berisi cairan atau vesikula pada kulit pasien
akibat luka bakar derajat II.
·
Eritema
(+)
·
Terdapat sianosis pada
kuku pasien.
2)
Kepala
dan Leher
·
Kepala pasien simetris
·
Terjadi edema laring.
·
Deformitas
di kepala dan leher akibat luka bakar (+)
·
Nyeri
tekan pada bagian yang mengalami luka bakar di kepala dan
leher kepala dan leher (+)
3)
Mata
dan Telinga
·
Pupil : Isokor, ukuran:
3mm
·
Sklera/ konjungtiva
anemis
·
Refleks
pupil terhadap cahaya +/+
·
Lapang
pandang dan gerakan bola mata pasien normal.
4) Sistem
Pernafasan
· Batuk
pasien tidak efektif, sputum yang dikeluarkan mengandung jelaga sisa
pembakaran.
· Pasien mengeluh sesak.
· Pergerakan dada pasien tidak simetris.
· Terdapat edema laring.
· Terdapat edema paru.
· RR: > 20 x/menit
· Terdapat sianosis.
·
Taktil
premitus tidak teraba
·
Terdapat
nyeri tekan di area dada pasien yang mengalami luka
bakar derajat I dan II.
·
Suara paru hipersonor.
·
Suara napas ronchi,
stridor.
5) Sistem
Kardiovaskular
·
Adanya
palpitasi dan kelemahan
·
CRT> 3
dtk
·
Inspeksi
: terjadi sianosis.
·
Palpasi
: kulit teraba dingin, nadi meningkat
(>100x/mnt).
·
Perkusi
: jantung tidak mengalami pembesaran.
·
Auskultasi
: S1S2 tunggal reguler.
6)
Payudara
Wanita dan Pria
Letak payudara simetris, luka
bakar pada payudara (+),
nyeri tekan pada area yang mengalami luka bakar (+).
7)
Sistem
Gastrointestinal
·
Terdapat
kerusakan pada mukosa mulut akibat luka bakar
·
Perkusi
abdomen timpani.
·
Perkusi
hati pekak.
·
Diatensi
abdomen (+) dan keluhan mual.
·
BU menurun
(< 5-12 x/mnt).
8)
Sistem Urinarius
·
Oliguria
·
Konsistensi
urin : kuning bening, bau khas.
·
Nyeri saat
BAK (-)
9)
Sistem
Reproduksi Wanita/Pria
·
Terdapat bagian area
genital yang mengalami luka bakar.
·
Terdapat bagian area
genital yang mengalami luka bakar dan nyeri saat ditekan.
10) Sistem Saraf
·
GCS:mengalami
penurunan (< 15)
·
Refleks patologis
mungkin muncul apabila terjadi cedera pada saraf dan tulang belakang.
11) Sistem Muskuloskeletal
· Kemampuan pergerakan sendi mungkin terbatas karena adanya
kontraktur akibat luka bakar di daerah persendian.
· Terdapat deformitas dan edema.
· Kekuatan otot mengalami penurunan.
· Tonus otot mengalami penurunan.
· Akral dingin apabila terjadi syok hipovolemi atau penurunan curah
jantung.
12) Sistem Imun
· Penurunan
pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri pada luka bakar akibat rusaknya kulit sebagai barier pertahanan tubuh dari
infeksi.
· Terjadi
kelemahan.
13) Sistem Endokrin: terjadi
hiperglikemia.
2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin
Muncul
a. Ketidakefektifan
bersihan
jalan nafas berhubungan dengan obtruksi trakeabronkial; edema mukosa dan hilangnya kerja
silia. Luka bakar daerah leher; kompresi jalan nafas thorak dan dada atau
keterbatasan pengembangan dada.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan
dengan cedera inhalasi asap atau sindrom kompartemen torakal sekunder terhadap
luka bakar sirkumfisial dari dada atau leher.
c. Kekurangan volume cairan berhubungan
dengan kehilangan cairan melalui rute abnormal, peningkatan kebutuhan : status
hypermetabolik, ketidakcukupan pemasukan, kehilangan perdarahan.
d. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan
kulit/jaringan; pembentukan edema, manipulasi jaringan cedera contoh debridemen
luka.
e. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan
primer tidak adekuat; kerusakan perlindungan kulit; jaringan traumatik, pertahanan
sekunder tidak adekuat; penurunan Hb, penekanan respons inflamasi.
f. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan status hipermetabolik (sebanyak 50 % - 60% lebih besar dari
proporsi normal pada cedera berat) atau katabolisme protein.
g. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
gangguan neuromuskuler, nyeri/tak nyaman, penurunan kekuatan dan tahanan.
h. Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan trauma : kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan
kulit (parsial/luka bakar dalam).
i.
Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan rentang
gerak dan nyeri.
j.
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan umum akibat luka bakar.
3.
Rencana Keperawatan
No |
Diagnosa
Keperawatan |
Tujuan |
Intervensi
Keperawatan |
Rasional |
1 |
Ketidakefektifan
Bersihan
jalan nafas berhubungan dengan obtruksi trakeabronkial; edema mukosa dan
hilangnya kerja silia, luka bakar daerah leher; kompresi jalan nafas thorak
dan dada atau keterbatasan pengembangan dada. |
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan bersihan jalan nafas
efektif dengan
kriteria hasil : -
Bunyi nafas vesikuler -
RR = 16-20 x/mnt -
Bebas dispnea/cyanosis |
1 Kaji refleks gangguan / menelan;
perhatikan pengalir an air liur, ketidakmampuan menelan, serak, batuk, mengi.
2 Awasi frekuensi, irama, kedalaman
pernafasan; perhatikan adanya pucat / sianosis dan sputum mengandung karbon
atau merah muda. 3 Auskultasi paru, perhatikan stridor,
mengi/gemericik, penurunan bunyi nafas, batuk rejan. 4 Tinggikan kepala tempat tidur.
Hindari penggunaan bantal di bawah kepala, sesuai indikasi 5 Dorong batuk/latihan nafas dalam
dan perubahan posisi sering. 6 Hisapan (bila perlu) pada
perawatan ekstrem, pertahankan teknik steril. 7 Tingkatkan istirahat suara tetapi
kaji kemampuan untuk bicara dan/atau menelan sekret oral secara periodik. 8 Awasi 24 jam keseimbngan cairan,
perhatikan variasi/perubahan. 9 Lakukan program kolaborasi
meliputi : - Berikan pelembab O2 melalui cara
yang tepat, contoh masker wajah - Awasi/gambaran seri GDA - Kaji ulang seri rontgen - Berikan/bantu fisioterapi
dada/spirometri intensif. |
1 Dugaan cedera inhalasi 2 Takipnea, penggunaan otot bantu,
sianosis dan perubahan sputum menunjukkan terjadi distress pernafasan/edema
paru dan kebutuhan intervensi medik. 3 Obstruksi jalan nafas/distres
pernafasan dapat terjadi sangat cepat atau lambat contoh sampai 48 jam
setelah terbakar. 4 Meningkatkan ekspansi paru
optimal/fungsi pernafasan. Bantal dapat menghambat pernafasan, menyebabkan
nekrosis pada kartilago telinga yang terbakar & meningkatkan konstriktur
leher. 5 Meningkatkan ekspansi paru,
memobilisasi dan drainase sekret. 6 Membantu mempertahankan jalan
nafas bersih, tetapi harus dilakukan kewaspadaan karena edema mukosa dan
inflamasi. Teknik steril menurunkan risiko infeksi. 7 Peningkatan sekret/penurunan
kemampuan untuk menelan menunjukkan peningkatan edema trakeal dan dapat
mengindikasikan kebutuhan untuk intubasi. 8 penggantian cairan meningkatkan risiko
edema paru. Catatan : Cedera inhalasi meningkatkan kebutuhan cairan
sebanyak 35% atau lebih karena edema. 9 O2 memperbaiki
hipoksemia /asidosis. - Pelembaban menurunkan pengeringan
saluran pernafasan dan menurunkan viskositas sputum. - Data dasar penting untuk
pengkajian lanjut status pernafasan dan pedoman untuk pengobatan. PaO2
kurang dari 50, PaCO2 lebih besar dari 50 dan penurunan pH
menunjukkan inhalasi asap dan terjadinya pneumonia/SDPD. - Perubahan menunjukkan
atelektasis/edema paru tak dapat terjadi selama 2 - 3 hari setelah terbakar - Fisioterapi dada mengalirkan area
dependen paru, spirometri intensif dilakukan untuk memperbaiki ekspansi paru,
meningkatkan fungsi pernafasan dan menurunkan atelektasis |
2 |
Kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan cedera inhalasi asap atau sindrom
kompartemen torakal sekunder terhadap luka bakar sirkumfisial dari dada atau
leher. |
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan pemeliharaan oksigenasi jaringan adekuat dengan kriteria hasil: -
Tidak ada dispneu -
RR = 16-20 x/mnt -
Paru bersih dari auskultasi -
Sat O2 >96% -
AGD normal -
Warna kulit normal |
1. Pantau laporan GDA dan kadar
karbon monoksida serum. 2. Berikan oksigen pada tingkat yang
ditentukan. 3. Pasang atau bantu dengan selang
endotrakeal dan tem- patkan pasien pada ventilator mekanis sesuai indikasi
bila terjadi insufisiensi pernafas- an (dibuktikan dengan hipoksia,
hiperkapnia, rales, takipnea dan perubahan sensorium). 4. Anjurkan pernafasan dalam dengan
penggunaan spiro- metri intensif setiap 2 jam selama tirah baring. 5. Pertahankan posisi semi fowler,
bila hipotensi tak ada. |
1. Mengidentifikasi kemajuan dan
penyimpangan dari hasil yang diharapkan. Inhalasi asap dapat merusak alveoli,
mempengaruhi pertukaran gas pada membran kapiler alveoli. 2. Oksigen meningkatkan jumlah
oksigen yang tersedia untuk jaringan. 3. Ventilasi mekanik diperlukan untuk
pernafasan dukungan sampai pasie dapat dilakukan secara mandiri. 4. Pernafasan dalam mengem- bangkan
alveoli, menurunkan resiko atelektasis. 5. Memudahkan ventilasi dengan
menurunkan tekanan abdomen terhadap diafragma. |
3 |
Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui rute abnormal.
Peningkatan kebutuhan : status hypermetabolik, ketidakcukupan pemasukan,
kehilangan perdarahan. |
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan terjadi pemulihan keseimbangan cairan dan elektrolit yang
optimal dan perfusi organ-organ vital dengan kriteria hasil: -
Tidak ada manifestasi dehidrasi -
resolusi oedema -
elektrolit serum dalam batas normal -
haluaran urine >30 cc/jam -
TD > 90/60 mmHg |
1. Awasi tanda vital, CVP. Perhatikan
kapiler dan kekuatan nadi perifer. 2. Awasi pengeluaran urine dan berat
jenisnya. Observasi warna urine dan hemates sesuai indikasi. 3. Perkirakan drainase luka dan
kehilangan yang tampak 4. Timbang berat badan setiap hari 5. Ukur lingkar ekstremitas yang
terbakar tiap hari sesuai indikasi 6. Berikan cairan sesuai indikasi |
1.
Memberikan pedoman untuk penggantian cairan dan mengkaji
respon kardiovaskuler. 2.
Penggantian cairan dititrasi untuk meyakinkan rata-2
pengeluaran urine 30-50 cc/jam pada orang dewasa. Urine berwarna merah pada
kerusakan otot masif karena adanya darah dan keluarnya mioglobin. 3.
Peningkatan permeabilitas kapiler, perpindahan protein,
proses inflamasi dan kehilangan cairan melalui evaporasi mempengaruhi volume
sirkulasi dan pengeluaran urine. 4.
Penggantian cairan tergantung pada berat badan pertama dan
perubahan selanjutnya 5.
Memperkirakan luasnya oedema/perpindahan cairan yang
mempengaruhi volume sirkulasi dan pengeluaran urine. 6.
Memenuhi kebutuhan cairan tubuh |
|
|
|
7. Lakukan program kolaborasi
meliputi : -
Pasang / pertahankan kateter urine -
Pasang/ pertahankan ukuran kateter IV. -
Berikan penggantian cairan IV yang dihitung, elektrolit,
plasma, albumin. -
Awasi hasil pemeriksaan laboratorium (Hb, elektrolit,
natrium). -
Berikan obat sesuai indikasi ·
Diuretika contohnya Manitol (Osmitrol) ·
Kalium ·
Antasida |
-
Observasi ketat fungsi ginjal dan mencegah stasis atau refleks
urine. -
Memungkinkan infus cairan cepat. -
Resusitasi cairan menggantikan kehilangan
cairan/elektrolit dan membantu mencegah komplikasi. -
Mengidentifikasi kehilangan darah/kerusakan SDM dan
kebutuhan penggantian cairan dan elektrolit. -
Meningkatkan pengeluaran urine dan membersihkan tubulus
dari debris /mencegah nekrosis. -
Penggantian lanjut karena kehilangan urine dalam jumlah
besar -
Menurunkan keasaman gastrik sedangkan inhibitor histamin
menurunkan produksi asam hidroklorida untuk menurunkan produksi asam
hidroklorida untuk menurunkan iritasi gaster |
4 |
Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan
kulit/jaringan; pembentukan edema, manipulasi jaringan cedera contoh
debridemen luka. |
Setelah diberikan asuhan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan mampu mengendalikan rasa nyeri dengan kriteria
hasil: -
Menyatakan nyeri berkurang -
Skala nyeri 0-1 (0-10) -
Ekspresi wajah rileks |
1. Kaji
skala nyeri (0-10) 2. Tutup
luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada
udara terbuka 3. Tinggikan
ekstremitas luka bakar secara periodik 4. Ajarkan
metode distraksi & relaksasi yaitu napas dalam 5. Kolaborasi
pemberian analgetik |
1.
Mengevaluasi
efektivitas tindakan mengurangi nyeri 2.
Suhu berubah &
gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf 3.
Peninggian mungkin
diperlukan pada awal untuk menurunkan pembentukan edema 4.
Membantu mengurangi
rasa nyeri 5.
Mengurangi tingkat
nyeri |
5 |
Risiko
infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat; kerusakan
perlindungan kulit; jaringan traumatik, pertahanan sekunder tidak adekuat;
penurunan Hb, penekanan respons inflamasi. |
Setelah diberikan asuhan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil: -
Tidak ada demam -
Pembentukan jaringan granulasi baik. -
Tidak ada pus -
Tanda vital normal, nadi = 60-100x/menit, suhu
= 36-37,5oC, RR= 16-20x/menit |
1.
Tekankan
pentingnya teknik cuci tangan yang baik
untuk semua individu yang datang
kontak dengan pasien 2.
Gunakan skort, sarung
tangan, masker & teknik aseptic ketat selama perawatan luka langsung
& berikan pakaian steril/baru juga linen. 3.
Awasi/batasi
pengunjung, bila perlu. 4.
Ganti balutan &
bersihkan area terbakar dalam bak hidroterapi/pancuran, pertahankan suhu air
pada 37,8 ºC. 5.
Bersihkan jaringan
nekrotik yang lepas dengan gunting & forsep. 6.
Periksa luka tiap
hari, perhatikan/catat perubahan penampilan, bau. 7.
Awasi tanda vital
untuk demam, peningkatan frekuensi pernapasan, penurunan jumlah trombosit. 8.
Kolaborasi pemberian
antibiotik |
1.
Mencegah kontaminasi
silang; menurunkan risiko infeksi. 2.
Mencegah terpajan
pada organism infeksius 3.
Mencegah kontaminasi
silang dari pengunjung. |
4.
Air melembutkan &
membantu membuang balutan & jaringan parut 5.
Meningkatkan
penyembuhan 6.
Mengidentifikasi
adanya penyembuhan (granulasi jaringan) 7.
Indicator sepsis
memerlukan evaluasi cepat & intervensi 8.
Menurunkan risiko
infeksi |
||||
6 |
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan status hipermetabolik (sebanyak 50 % - 60% lebih
besar dari proporsi normal pada cedera berat) atau katabolisme protein |
Setelah diberikan asuhan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan pemasukan nutrisi adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metabolik dengan kriteria hasil: -
Berat badan stabil -
Adanya regenerasi jaringan -
Keseimbangan albumin serum, krestinin, BUN |
1. Auskultasi
bising usus 2. Pertahankan
jumlah kalori tetap 3. Berikan
makanan kecil sedikit & sering 4. Kolaborasi
pemberian diet tinggi kalori/protein dengan tambahan vitamin 5. Kolaborasi
pemberian albumin serum 6. Awasi
pemeriksaan laboratorium, contoh albumin serum, kreatinin, BUN, transferin. |
1. Mengetahui
motilitas usus 2. Mempertahankan
kebutuhan metabolisme 3. Mempertahankan
asupan nutrisi 4. Sebagai
salah satu sumber dalam perbaikan jaringan 5. Menambah
asupan sumber protein 6. Memberikan
gambaran akan kebutuhan nutrisi pasien |
7 |
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
gangguan neuromuskuler, nyeri/tak nyaman, penurunan kekuatan dan tahanan. |
Setelah diberikan asuhan keperawatan
selama 3x24 jam diharapkan pencapaian mobilitas fisik optimal dengan kriteria hasil: -
Menyatakan &
menunjukkan keinginan berpartisipasi dalam aktivitas -
Tidak adanya
kontraktur -
Menunjukkan
teknik/perilaku yang mampu melakukan aktivitas |
1. Atur
posisi klien 2. Lakukan
latihan rentang gerak 3. Bantu
klien untuk ambulasi dini 4. Kolaborasi
dengan ahli fisioterapi |
1. Mengurangi
risiko kontraktur 2. Meminimalkan
atropi otot 3. Peningkatan
pemakaian otot-otot 4. Mempertahankan
posisi sendi yang benar |
8 |
Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan trauma : kerusakan permukaan kulit karena
destruksi lapisan kulit (parsial/luka bakar dalam). |
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan integritas kulit membaik dengan kriteria hasil: -
Menunjukkan regenerasi jaringan -
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada area luka
bakar |
1.
Kaji/catat ukuran, warna, kedalaman luka,
perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka. 2.
Lakukan perawatan luka bakar yang tepat dan
tindakan kontrol infeksi. 3.
Tinggikan area graft bila mungkin/tepat.
Pertahankan posisi yang diinginkan dan imobilisasi area bila diindikasikan. 4.
Pertahankan balutan diatas area graft baru
dan/atau sisi donor sesuai indikasi. 5.
Kolaborasi berikan preparat antibiotik topikal
dan memasang balutan sesuai dengan ketentuan medik |
1.
Memberikan informasi dasar tentang kebutuhan
penanaman kulit dan kemungkinan petunjuk tentang sirkulasi pada area graft. 2.
Menyiapkan jaringan untuk penanaman dan
menurunkan resiko infeksi/kegagalan graft. 3.
Menurunkan pembengkakan /membatasi resiko
pemisahan graft. Area mungkin ditutupi oleh bahan dengan permukaan tembus
pandang tak reaktif. 4.
Mengevaluasi
keefektifan sirkulasi & mengidentifikasi terjadinya komplikasi. 5.
Perawatan luka akan mengurangi kolonisasi
bakteri dan mempercepat kesembuhan |
9 |
Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan
rentang gerak dan nyeri |
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan mampu melakukan aktivitas perawatan
diri sesuai dengan tingkat kemampuan diri sendiri -
Pasien bersih terbebas dari bau badan -
Dapat melakukan perawatan diri dengan mandiri/bantuan |
1. Identifikasi
kesulitan dalam perawatan diri seperti keterbatasan gerak fisik 2. Berikan
bantuan sesuai kebutuhan seperti mandi, perawatan rambut, gosok gigi 3. Bantu
mengenakan pakaian yang rapi 4. Berikan
HE pada pasien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan diri. |
1. Memahami
penyebab yang mempengaruhi pilihan intervensi/strategi. 2. Kebutuhan
akan kebersihan dasar mungkin dilupakan 3. Meningkatkan
kepercayaan. 4. Agar
pasien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal hygiene |
10 |
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum akibat
luka bakar |
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan mampu melakukan aktivitas dengan
kriteria hasil: Tidak terjadi kontraktur sendi, Bertambahnya
kekuatan otot, Klien menunjukkan
tindakan untuk meningkatkan mobilitas. |
1. Kaji
keterbatasan aktivitas, perhatikan adanya keterbatasan 2. Ubah posisi klien bila pasien
tirah baring 3. Bantu
dalam latihan rentang gerak aktif atau pasif 4. Bantu
pasien dalam memenuhi kebutuhannya bila tidak dapat dilakukan sendiri. |
1.
Mempengaruhi pilihan intervensi 2.
Menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah
yang jelek pada daerah yang tertekan. 3.
Mempertahankan kelenturan sendi, mencegah kontraktur, dan membantu
dalam menurunkan tegangan otot. 4.
Memenuhu kebutuhan dasar pasien. |
5.
Implementasi
Sesuai dengan rencana tindakan
keperawatan
6.
Evaluasi
a. Dx
1 : Bersihan jalan napas klien kembali efektif
b. Dx
2 : Pemeliharaan oksigenasi jaringan klien adekuat
c. Dx
3 : Terjadi pemulihan keseimbangan cairan dan elektrolit yang optimal dan
perfusi organ – organ vital
d. Dx
4 : Nyeri hilang / berkurang
e. Dx
5 : Tidak terjadi infeksi
f. Dx
6 : Masukan nutrisi adekuat
g. Dx
7 : Pencapaian mobilitas fisik optimal
h. Dx
8 : Integritas kulit membaik
i.
Dx 9 : Pasien mampu melakukan aktivitas
perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan diri – sendiri
Daftar Pustaka
Azzis, Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk
Pendidikan Kebidanan. Jakarta
: Salemba Medika.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. . Jakarta : EGC
Lynn, Betz. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri ed 5.
Jakarta : EGC
Marylin E. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC.
Mutaqqin, Arif. 2011. Asuhan
Keperawatan Sistem Integumen. Jakarta : Salemba Medika.
Nanda. 2009. Pedoman
Diagnosa Keperawatan Perencanaan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3.
Jakarta : EGC
Price
& Wilson, 2006. Patofisiologi. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC
Smeltzer C. Suzanne and Bare G. Brande, 2002. Keperawatan Medikal
Bedah Ed 8, Jilid 3.
Jakarta : EGC.