14 May 2011

Keadaan Kenyang dan Puasa serta Proses Eliminasi Sisa Pencernaan


Selama makan, kita memasukkan karbohidrat, lemak, dan protein, yang kemudian dicerna dan diserap. Sebagian bahan makanan ini digunakan dalam jalur-jalur yang menghasilkan ATP, untuk memenuhi kebutuhan energi segera. Kelebihan konsumsi bahan bakar yang melebihi kebutuhan energi tubuh dibawa ke depot bahan bakar, tempat bahan tersebut disimpan. Selama periode dari permulaan absorpsi sampai absorpsi selesai, kita berada dalam keadaan kenyang atau keadaan absorptif. Setelah makan diet tinggi karbohidrat, pankreas akan terangsang untuk mengeluarkan insulin dan pelepasan glukosa terhambat.
ü      Karbohidrat
Karbohidrat dalam makanan dicerna menjadi monosakarida oleh enzim pencernaan. Monosakarida kemudian diserap oleh sel epitel usus dan dilepaskan ke dalam vena porta hepatika. Sesampainya di hati, sebagian glukosa dioksidasi dalam jalur-jalur yang menghasilkan ATP untuk memenuhi kebutuhan energi segera sel-sel hati. Sebagian lagi diubah menjadi glikogen dan triasilgliserol. Simpanan glikogen dalam hati mencapai maksimum sekitar 200-300 gram. Setelah simpanan glikogen mulai penuh, hati mengubah glukosa yang diterimanya menjadi triasilgliserol. Triasilgliserol dikemas bersama protein, fosfolipid, dan kolesterol dalam bentuk kompleks lipoprotein yang dikenal sebagai lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) yang kemudian disekresikan ke dalam aliran darah. Asam-asam lemak VLDL sebagian digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi sel, tetapi sebagian besar disimpan sebagai triasilgliserol di jaringan adipose.
Glukosa dari usus, yang tidak dimetabolisis oleh hati, akan mengalir di dalam darah menuju ke jaringan perifer, tempat glukosa tersebut mungkin dioksidasi untuk menghasilkan energi. Glukosa adalah bahan bakar yang dapat digunakan oleh semua jaringan. Banyak jaringan menyimpan glukosa dalam jumlah kecil dalam bentuk glikogen, terutama otot.
Insulin sangat meningkatkan transpor glukosa ke dua jaringan yang memiliki massa terbesar di dalam tubuh yaitu jaringan otot dan adiposa. Efek insulin terhadap transpor glukosa ke jaringan lain rendah. Metabolisme glukosa di jaringan lain diantaranya :
1.      Otak dan jaringan saraf lain sangat bergantung pada glukosa untuk memenuhi kebutuhan energinya. Kecuali pada keadaan kelaparan, glukosa adalah satu-satunya bahan bakar utama yang dibutuhkan sebanyak 150 gram setiap hari.
2.      Sel darah merah hanya dapat menggunakan glukosa sebagai bahan bakar karena sel ini tidak memiliki mitokondria. Glukosa mengalami glikolisis di dalam sitoplasma. Hasilnya yaitu piruvat dapat dilepaskan secara langsung ke dalam darah atau diubah menjadi laktat kemudian dibebaskan.
3.   Otot rangka yang sedang bekerja dapat menggunakan glukosa dari darah atau dari simpanan glikogennya sendiri, untuk diubah menjadi laktat melalui glikolisis atau menjadi CO2 dan H2O. Otot yang sedang bekerja juga menggunakan bahan bakar lain dari darah, misalnya asam lemak. Setelah makan, glukosa digunakan oleh otot untuk memulihkan simpanan glikogen yang berkurang selama otot bekerja.
4.   Insulin merangsang penyaluran glukosa ke dalam sel-sel adiposa serta ke dalam sel-sel otot. Adiposit mengoksidasi glukosa untuk menghasilkan energi, dan sel-sel tersebut juga menggunakan glukosa sebagai sumber untuk membentuk gugus gliserol pada triasilgliserol yang mereka simpan.

ü      Protein
Protein dalam makanan dicerna menjadi asam-asam amino, yang kemudian diserap ke dalam darah. Asam amino mungkin mengalami oksidasi untuk menghasilkan energi atau digunakan oleh jaringan untuk biosintesis. Sebagian besar asam amino yang digunakan untuk biosintesis diubah menjadi protein; sisanya digunakan untuk membentuk bermacam-macam senyawa bernitrogen, misalnya sebagai neurotransmiter, hormon, hem, serta basa purin dan pirimidin pada DNA dan RNA.

ü      Lemak
Triasilgliserol adalah lemak utama dalam makanan. Bahan ini dicerna menjadi asam-asam lemak dan 2-monoasilgliserol, yang disintesis ulang menjadi triasilgliserol di dalam sel epitel usus, kemudian dikemas dalam kilomikron, dan disekresikan melalui limfe ke dalam darah. Dalam keadaan kenyang, terbentuk dua jenis lipoprotein, kilomikron dan VLDL. Fungsi utama kedua lipoprotein ini adalah untuk mengangkut triasilgliserol dalam darah. Saat lipoprotein masuk ke dalam pembuluh darah di jaringan adiposa, triasilgliserol yang terdapat di dalamnya diuraikan menjadi asam lemak dan gliserol.
Asam lemak masuk ke dalam sel adiposa dan bergabung dengan sebuah gugus gliserol yang dibentuk dari glukosa darah. Triasilgliserol yang terbentuk disimpan sebagai butir-butir lemak besar di dalam sel adiposa. Sisa kilomikron dibersihkan dari darah oleh hati. Sisa VLDL dapat dibersihkan oleh hati, atau membentuk lipoprotein densitas rendah (LDL).

1.      PUASA
Glukosa merupakan bahan bakar utama untuk jaringan misalnya otak dan susunan saraf, serta satu-satunya bahan bakar bagi sel darah merah. Kadar glukosa darah memuncak pada sekitar 1 jam setelah makan, dua jam setelah makan, kadar kembali ke rantang puasa (antara 80-100 mg/dL) seiring dengan oksidasi atau pengubahan glukosa menjadi bentuk simpanan bahan bakar oleh jaringan. Penurunan glukosa menyebabkan penurunan sekresi insulin. Hati berespon terhadap hal ini dengan memulai degradasi simpanan oksigen dan melepaskan glukosa dalam darah. Namun, apabila kita terus-terusan berpuasa selama 12 jam, kita masuk ke status basal yang juga dikenal sebagai keadaan pasca absorptif. Seseorang umumnya dianggap pada keadaan basal setelah berpuasa semalam; tidak makan lagi sejak malam terakhir.
Pada awalnya, simpanan glikogen diuraikan untuk memasok glukosa ke dalam darah, tetapi simpanan ini terbatas. Walaupun kadar glikogen hati dapat meningkat sampai 200-300 g setelah makan, hanya sekitar 80 g yang masih tersisia setelah puasa 1 malam. Hati memiliki mekanisme lain untuk menghasilkan glukosa darah. Proses ini yang dikenal sebagai glukoneogenesis yang menggunakan sumber-sumber karbon berupa laktat (glikolisis di dalam sle darah merah), gliserol (lipolisis triasilgliserol adiposa), dan asam amino (pemecahan protein otot).
Asam lemak tidak dapat menyediakan karbon untuk glukoneogenesis. Dari simpanan energi makanan triasilgliserol jaringan adiposa yang berjumlah besar, hanya sebagian kecil terutama gugus gliserol yang dapat digunakan untuk menghasilkan glukosa dalam darah. Setelah beberapa jam puasa glukoneogenesis mulai menambah glukosa yang dihasilkan glikogenolisis di hati. Bila puasa berlanjut, glukoneogenesis menjadi lebih penting sebagai sumber glukosa darah. Setelah sekitar 30 jam berpuasa, simpanan glikogen hati habis dan glukoneogenesis menjadi satu-satunya sumber glukosa darah. Pasokan minimal glukosa mungkin diperlukan dalam jaringan ekstra hepatik untuk mempertahankan konsentrasi oksaloasetat dan bentukan siklus asam sitrat. Disamping itu, glukosa merupakan sumber utama gliserol 3 fosfat dalam jaringan yang tidak mempunyai energi gliserol kinase seperti jaringan adipose.

Peran Jaringan Adiposa Selama Puasa
Triasilgliserol merupakan sumber utama energi selama puasa. Sewaktu kadar insulin menurun dan kadar glukagon darah meningkat, triasilgliserol adiposa dimobilisasi oleh suatu proses lipolisis. Pemecahannya menghasilkan gliserol dan asam lemak. Asam lemak berfungsi sebagia bahan bakar untuk jaringan misalnya otot, ginjal yang mengoksidasinya menjadi asetil koA dan kemudian menghasilkan energi dalam bentuk ATP. Sebagian besar asam lemak masuk ke hati diubah menjadi benda keton. Benda keton ini dapat dioksidasi lebih lanjut oleh jaringan misalnya otot dan ginjal. Di jaringan tersebut asetoasetat dan beta-hidroksibutirat diubah menjadi asetil KoA dan kemudian menjadi CO2 dan H2O disertai pembentukan energi.
Pada intinya kadar glukosa dipertahankan dalam rentang 80-100 mg/dL dan kadar asam lemak serta benda keton meningkat. Otot menggunakan asam lemak, benda keton, dan (sewaktu sedang olahraga dan saat pasokan masih ada) glukosa dari glikogen otot. Banyak jaringan yang menggunakan campuran asam lemak dan benda keton.

Perubahan Metabolik Selama Puasa Jangka Panjang
Apabila penggunaan bahan bakar yang terjadi selama puasa terus berlangsung untuk jangka lama, protein tubuh akan cepat dikonsumsi sampai suatu ketika fungsi kritis terganggu. Untungnya, perubahan metabolik yang terjadi selama puasa tidak menghabiskan protein otot. Setelah berpuasa 4 sampai 5 hari, otot mengurangi penggunaan benda keton dan terutama bergantung pada asam-asam lemak untuk memasok energi. Namun, hati terus mengubah asam lemak menjadi benda keton. Hasilnya adalah bahwa konsentarsi benda keton dalam darah meningkat.
 Otak mulai menyerap benda keton dan mengoksidasinya menjadi energi. Glukosa tetap dibutuhkan sebagai sumber energi untuk sel darah merah dan otak terus menggunakan glukosa dalam jangka waktu terbatas. Glukosa tersebut dioksidasi menjadi energi dan digunakan sebagai sumber karbon untuk sintesis neurotransmitter. Namun, glukosa tetap dihemat penggunaannya sehingga hati lebih sedikit menghasilkan glukosa selama puasa jangka panjang dibandingkan selama puasa singkat.
Karena simpanan glikogen dalam hati habis dengan puasa sekitar 30 jam, glukoneogenesis adalah satu-satunya proses yang digunakan hati untuk memasok glukosa ke dalam darah. Asam amino yang dihasilkan oleh penguraian protein otot terus berfungsi sebagai sumber utama karbon untuk glukoneogenesis. Namun, karena kecepatan glukoneogenesis menurun selama puasa jangka panjang, protein otot juga dihemat, yakni tidak banyak protein otot yang digunakna untuk proses glukoneogenesis.
Akibatnya, karena produksi glukosa menurun, produksi urea juga berkurang selama puasa jangka panjang dibandingkan dengan produksi pada puasa singkat. Besarnya jumlah jaringan adiposa dalam tubuh kita menjadi penentu utama seberapa lama kita dapat berpuasa, karena jaringan adiposa merupakan pasokan energi utama bagi tubuh. Namun, glukosa masih digunakan dalam tingkat waktu tertentu bahkan selama puasa jangka panjang. Walaupun kita mengalami berbagai masalah, misalnya kehabisan bahan bakar, protein menjadi sangat kurang sehingga jantung, ginjal dan jaringan vital lainnnya berhenti berfungsi, atau kita terserang infeksi segingga tidak cukup mengadakan respon imun. Akhirnya kita meninggal akibat kelaparan.

Pengaturan Metabolisme Karbohidrat dan Lemak Selama Puasa
·     Mekanisme di Hati yang Berfungsi Mempertahankan Kadar Glukosa Darah
Selama puasa, rasio insulin/glukagon menurun. Glikogen hati diurai untuk menghasilkan glukosa darah. Enzim untuk penguraian glikogen diaktifkan melalui fosforilasi yang diarahkan oleh cAMP. Glukagon merangsang adenilat siklase untuk membentuk cAMP, yang kemudian mengaktifkan protein kinase A. Protein kinase A melakukan fosforilasi terhadap fosforilasi kinase, yang kemudian melakukan fosforilasi dan mengaktifkan glikogen fosforilase. Protein kinase A juga memfosforilasikan glikogen sintase. Tetapi, enzim tersebut menjadi inaktif
·     Mekanisme yang mempengaruhi lipolisis di jaringan adipose
Selama puasa, sewaktu kadar insulin darah turun dan kadar glukagon meningkat, kadar cAMP di dalam sel adiposa meningkat. Akibatnya, protein kinase A diaktifkan dan menyebabkan fosforilasi lipase peka hormon. Enzim bentuk terfosforilasi ini menjadi aktif dan memutuskan asam lemak dari triasilgliserol.

·     Mekanisme yang mempengaruhi pembentukan badan keton oleh hati
Setelah dibebaskan dari jaringan adiposa selama puasa, asam lemak mengalir dalam darah dalam bentuk kompleks dengan albumin. Asam lemak ini dioksidasi oleh berbagai jaringan, terutama otot. Di hati, asam lemak dipindahkan ke dalam mitokondria karena asetil KoA karboksilase inaktif, kadar malonil KoA rendah, dan CPTI aktif. Asetil KoA, yang dihasilkan oleh iksidasi-β, diubah menjadi badan keton.
·     Metabolisme saat kerja fisik
Saat latihan ringan (seperti berjalan) sampai latihan sedang (seperti lari-lari kecil atau berenang), sel-sel otot mampu membentuk cukup ATP melalui fosforilasi oksidatif untuk memenuhi kebutuhan energi. Untuk mempertahankan terjadinya fosforilasi oksidatif, dibutuhkan cukup oksigen dan nutrient.
Pada kontraksi yang hampir maksimal, pembuluh darah yang masuk ke otot tertekan dan hampir tertutup oleh kontraksi yang kuat, sehingga oksigen sulit masuk ke serat otot. Meskipun oksigen berhasil masuk, fosforilasi oksidatif yang prosesnya relatif lambat tidak dapat memenuhi kebutuhan ATP dengan cukup cepat. Konsumsi energi otot rangka pada latihan berat dapat mencapai 100 kali konsumsi energi pada keadaan istirahat. Karena itu, otot bergantung pada glikolisis untuk menghasilkan ATP meskipun jumlah ATP yang dihasilkan lebih sedikit. Namun, glikolisis adalah proses yang kurang efisien (satu molekul glukosa hanya bisa menghasilkan 2 ATP) dan ada asam laktat yang dihasilkan (menyebabkan pegal) sehingga latihan anaerobik hanya bisa dilakukan pada durasi yang pendek.

SIKLUS  ASAM  SITRATI 3
Siklus ini merupakan tahap akhir dari proses metabolisme energi glukosa. Proses konversi yang terjadi pada siklus asam sitrat berlangsung secara aerobik di dalam mitokondria dengan bantuan 8 jenis enzim. Inti dari proses yang terjadi pada siklus ini adalah untuk mengubah 2 atom karbon yang terikat di dalam molekul Acetyl-CoA menjadi 2 molekul karbondioksida (CO2), membebaskan koenzim A serta memindahkan energi yang dihasilkan pada siklus ini ke dalam senyawa NADH, FADH dan GTP. Selain menghasilkan CO2 dan GTP, dari persamaan reaksi dapat terlihat bahwa satu putaran Siklus Asam Sitrat juga akan menghasilkan molekul NADH & molekul FADH . Untuk melanjutkan proses metabolisme energi, kedua molekul ini kemudian akan diproses kembali secara aerobik di dalam membran sel mitokondria melalui proses Rantai Transpor Elektron untuk menghasilkan produk akhir berupa ATP dan air (H2O).
Molekul Acetyl CoA yang merupakan produk akhir dari proses konversi Pyruvate kemudian akan masuk kedalam Siklus Asam Sitrat. Secara sederhana persamaan reaksi untuk satu siklus Asam Sitrat (Citric Acid Cycle) dapat dituliskan :
Acetyl-CoA + oxaloacetate + 3 NAD + GDP + Pi +FAD --> oxaloacetate + 2 CO + FADH + 3 NADH+3H+GTP

·     Reaksi Anapleorotik
Agar siklus asam trikarboksilat terus berputar, jaringan harus menyediakan zat antara 4-karbon yang cukup untuk mengganti keluarnya zat tersebut ke jalur lain, misalnya glukoneogenesis atau sintesis asam lemak. Di setiap jaringan, jalur metabolic bersilangan dnegan siklus asam trikarboksilat dan menyebabkan keluarnya zat antara dari siklus, misalnya sitrat dan malat. Di jaringan saraf, alpha ketoglutarat diubah menjadi glutamate kemudian menjadi GABA. Di hati suksinil KoA dikeluarkan untuk sintesis hem.
Oksaloasetat selalu mengalami regenerasi di dalam siklus tersebut. Reaksi yang menyediakan zat antara 4-karbon kepada sikluas asam trikarboksilat adalah reaksi anapleorotik atau filling up. Salah satu reaksi anapleorotik utama adalah perubahan piruvat dan CO2 menjadi oksaloasetat dan piruvat karboksilase. Enzim ini mengandung biotin. Piruvat karboksilase banyak ditemukan di hati dan jaringan saraf karena jaringan-jaringan ini selalu memiliki efluks zat antara yang konstan. Selain itu, piruvat dehidrogenase ini juga merupakan bagian dari glukoneogenik yang mampu mengubah alanin dan laktat menjadi glukosa.


2.      RASA LAPAR
Rasa lapar sebenarnya dipicu oleh peningkatan hormon Ghrelin dalam darah yang diproduksi oleh sel-sel dilambung. Puasa menyebabkan peningkatan produksi hormon Ghrelin ini di lambung. Ghrelin dalam penelitian menunjukkan efek positip terhadap sekresi dan kerja insulin.  Ghrelin yang meningkat menyebabkan kerja insulin lebih bagus. Pada orang gemuk Ghrelin dalam darah rendah dan disinyalir memperburuk sinyal insulin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ghrelin baik untuk membantu kerja insulin. Ini salah satu alasan tambahan mengapa rasa lapar itu penting untuk kita rasakan. Rasa lapar dan puasa akan cenderung meningkatkan produksi Ghrelin yang pada akhirnya penting untuk kesehatan metabolisme.

Mekanisme Lapar
Fisiologi Lapar
Pusat saraf yang mengatur asupan makanan
ü      Nukleus lateral hipotalamus, berfungsi sebagai pusat makan
ü      Nukleus ventromedial hipotalamus berperan sebagai pusat kenyang
ü      Nukleus paraventrikular, dorsomedial, dan arkuata

Faktor-faktor yang mengatur jumlah asupan makanan
Pengaturan jumlah asupan makanan dapat dibagi menjadi :
Ø      Pengaturan jangka pendek, yang terutama mencegah perilaku makan yang berlebihan di setiap waktu makan
Ø      Pengisian saluran cerna menghambat perilaku makan, Bila saluran cerna teregang, terutama lambung dan duodenum, sinyal inhibisi yang teregang akan dihantarkan terutama melalui nervus vagusn untuk menekan pusat makan,sehingga nafsu makan berkurang.
Ø      Faktor hormonal saluran cerna menghambat perilaku, Kolesistokinin terutama dilepaskan sebagai respon terhadap lemak yang masuk ke duodenum dan memiliki efek langsung ke pusat makan untuk mengurangi perilaku makan lebih lanjut.
Selain itu,adanya makanan dalam usus akan merangsang usus tersebut mensekresikan peptide mirip glucagon, yang selanjutnya akan meningkatkan sekresi insulin terkait glukosa dan sekresi dari pancreas, yang keduanya cendrung untuk menekan nafsu makan.  
Ø      Ghrelin, suatu hormone gastrointestinal meningkatkan perilaku makan, Kadar Ghrelin meningkat disaat puasa, meningkat sesaat sebelum makan, dan menurun drastic setelah makan yang mengisyaratkan bahwa hormone ini mungkin berperan untuk meningkatkan nafsu makan.
Ø      Reseptor mulut mengukur jumlah asupan makanan, Berkaitan dengan perilaku makan, seperti mengunyah, salivasi, menelan, dan mengecap yang akan “mengukur” jumlah makanan yang masuk, dan ketika sejumlah makan telah masuk, maka pusat makan dihipotalamus akan dihambat.
Ø      Pengaturan jangka panjang, yang terutama berperan untuk mempertahankan energy yang disimpan di tubuh dalam jumlah normal.

3.      PROSES BUANG AIR BESAR (DEFEKASI)
Defekasi adalah proses pengosongan usus yang sering disebut buang air besar. 'Perdapat dua pusat yang momguasai refieks untuk defe:kasi, yang te:rletak di medula dan sumsum tulang belakang. Apabila terjadi rangsangan parasimpatis, sfingter anus bagian dalam akan mengendor dan usus besar mengucup. Reflek defe;kasi dirangsang untuk buang air beaar, kemudian sfingter anus bagian luar yang diawasi oleh sistem saraf parasimpatis, setiap waktu menguncup atau mengendor. Selama defekasi berbagai otot lain membantu proses itiu, seperti otot dinding perut, diafragma, dan otot-otot dasar pelvis.
Feses terdiri atas sisa makanan seperti selulosa yang tidak direncanakan dan zat makanan lain yang seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam mikroorganisme, sekresi kelenjar usus, pigmen empedu, dan cairan tubuh. feaes yang normal terdiri atas masa padat, berwarna coklat karena disebabkan ole;h mobilitas sebagai hasil reduksi pigmen empedu dan usus kecil.
Secara umum, terdapat dua macam refleks yang membantu proses defekasi yaitu pertama, refieks, defekasi intrinsik yang dimulai dari adanya zat sisa makanan (feses) dalam rektum sehingga terjadi distensi, kemudian flexus mesenterikus merangsang gerakan peristaltik, dan akhirnya feses sampai di anus, lalu pada saat sfingter interna relaksasi, maka terjadilah proses defekasi. Kedua, refieks defekasi parasimpatis. Adanya feses dalam rektum yang merangsang saraf rektum, ke spinal cord, dan merangsang ke kolon desenden, ke;mudian ke sigmoid, lalu ke rektum dengan gerakan peristaltik dan akhirnya terjadi relaksasi sfingte:r interna, maka terjadilah proses defekasi saat sfingter interna berelaksasi.

Gangguan Eliminasi Fekal
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.
a.      Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanantertentu pada beberapa orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.
b.  Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalananchyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan darichym e
c.       Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit- penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yang depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi
d.      Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras
e.      Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang- kadang digunakan untuk mengobati diare
f.        Usia
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya adalahatony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses defekasi.
g.      Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan
pada spinal cord dan tumor.
Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan stimulus sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkteran.

Masalah Eliminasi Fekal
 Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.
Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu :
a.       Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.
b.      Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid.
c.       Diare merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
d.      Inkontinensia fecal yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat.
e.       Flatulens yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2.
f.        Hemoroid yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal).Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun.Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.
g.       Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih, urethra.