BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Belajar di bidang formal tidak selalu menyenangkan. Apalagi jika Anda harus belajar dengan terpaksa Para ahli di bidang pendidikan mencoba mengembangkan teori mengenai gaya belajar sebagai cara untuk mencari jalan agar belajar menjadi hal yang mudah dan menyenangkan. Sebagaimana kita ketahui, belajar membutuhkan konsentrasi.
Dalam proses pembelajaran keperawatan kita memepelajari beberapa metode-metode yaitu Self Direction Learning, Small Group Discussion, Inquiry Based Learning, Problem Based Learning. Disini kita juga mempelajari metode evaluasi dan aspek-aspek yang ada di dalam evaluasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Metode Pembelajaran keperawatan
2.1.1 Self Direction learning
1. Definisi self direction
Pembelajaran mandiri didefinisikan sebagai:
“Proses belajar yang mengajak siswa melakukan tindakan mandiri yang melibatkan terkadang satu orang, biasanya satu kelompok. Tindakan mandiri ini dirancang untuk menghubungkan pengetahuan akademik dengan kehidupan siswa sehari-hari secara sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang bermakna. Pembelajaran mandiri membebaskan siswa untuk belajar sesuai dengna gaya belajar mereka sendiri, sesuai dengan kecepatan belajar mereka dan sesuai dengan arah minat dan bakat mereka dalam menggunakan kecerdasan majemuk yang mereka miliki. Sistem belajar mandiri adalah cara belajar yang lebih menitikberatkan pada peran otonomi belajar kepada pebelajar. Dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri, pebelajar diberikan kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam menentukan 1) tujuan belajarnya (apa yang harus dicapai); 2) apa yang harus dipelajari dan darimana sumbernya; 3) bagaimana mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana keberhasilan belajarnya diukur (evaluasi). Belajar mandiri juga dapat dipandang sebagai metode (proses) maupun tujuan (produk). Sebagai proses, belajar mandiri dijadikan sebagai metode/cara dalam sistem pembelajaran tertentu. Sedangkan sebagai produk, mengandung arti bahwa suatu sistem pembelajaran dengan berbagai strateginya ditujukan untuk menghasilkan pebelajar mandiri. Sebenarnya pendidikan dengan sistem belajar mandiripun, secara tidak langsung akan membantu dan mengembangkan kecakapan belajar mandiri. Sehingga, pendidikan dengan sistem belajar mandiri dapat menghasilkan pebelajar mandiri. Pada dasarnya, sistem belajar mandiri bukan hanya milik pendidikan jarak jauh. Tapi, dapat diterapkan dalam semua pola pendidikan, termasuk dalam pola pendidikan konvensional. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli seperti : Garrison, Schillereff, Abdullah (2001:1-4), Haris Mujiman (2005:1), Hiemstra (1994:1) dan beberapa pertimbangan di atas, maka belajar mandiri dapat diartikan sebagai usaha individu untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi dan atau kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata. Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners). Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No. 169 mengatakan self-directed learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pembelajaran yang mereka lakukan sendiri”. Individu seperti itu mempunyai keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan, sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya). Belajar mandiri dan siswa mandiri seperti sekeping mata uang yang mempunyai dua muka yang berbeda tetapi merupakan satu kesatuan yang mempunyai suatu fungsi yang saling mendukung
Belajar Mandiri (Self-directed learning) yang ada di sisi sebelah kiri dari model, mengacu pada karakteristik proses belajar mengajar, atau apa yang kita dikenal sebagai faktor eksternal dari si siswa. Di sini mengacu pada bagaimana proses pembelajaran itu dilaksanakan. Siswa mandiri (LearnerSelf-Direction) yang ada di sebelah kanan dari model, mengacu pada individu yang melakukan kegiatan belajar. Termasuk di dalamnya yaitu karakteristik kepribadian siswa, atau sering kita kenal dengan faktor internal dari individu yang bersangkutan. Jika kedua hal tersebut (Self-directed learning dan Learner Self-Direction) dapat tercipta dalam proses pembelajaran, maka individu dapat memiliki kemandirian dalam belajar (self-direction in learning). Dengan demikian Kemandirian belajar (self-direction in learning) dapat diartikan sebagai sifat dan sikap serta kemampuan yang dimiliki siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata.
Burt Sisco dalam Hiemstra (1998) membuat sebuah model yang membantu individu untuk menjadi lebih mandiri dalam belajar. Menurut Sisco ada 6 langkah kegiatan untuk membantu individu menjadi lebih mandiri dalam belajar, yaitu: (1) preplanning (aktivitas sebelum proses pembelajaran), (2) menciptakan lingkungan belajar yang positif, (3) mengembangkan rencana pembelajaran, (4) mengidentifikasi aktivitas pembelajaran yang sesuai, (5) melaksanakan kegiatan pembelajaran dan monitoring, dan (6) mengevaluasi hasil pembelajar individu.
2.Konsepsi Belajar Mandiri
Belajar mandiri bukan berarti belajar sendiri. Seringkali orang menyalahartikan belajar mandiri sebagai belajar sendiri. Kesalahpengertian tersebut terjadi karena pada umumnya mereka yang kuliah di Universitas Terbuka cenderung belajar sendiri tanpa tutor atau teman kuliah. Belajar mandiri berarti belajar secara berinisiatif, dengan ataupun tanpa bantuan orang lain, dalam belajar. Konsep Belajar Mandiri (Self-directed Learning) sebenarnya berakar dari konsep pendidikan orang dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli seperti Garrison tahun 1997, Schillereff tahun 2001, dan Scheidet tahun 2003 ternyata belajar mandiri juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar mandiri sesuai untuk semua jenjang sekolah baik untuk sekolah menengah maupun sekolah dasar dalam rangka meningkatkan prestasi dan kemampuan siswa. Ada beberapa istilah yang mengacu pada pengertian yang sama tentang belajar mandiri. Istilah-istilah tersebut antara lain adalah 1) independent learning, 2) sel-directed learning, 3) autonomous learning.1) Wedemeyer (1973) menjelaskan bahwa belajar mandiri adalah cara belajar yang memberikan derajat kebebasan, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih besar kepada pebelajar dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan belajarnya. Pebelajar mendapatkan bantuan bimbingan dari guru atau orang lain tapi bukan bearti harus bergantung kepada mereka.2)
Rowntree (1992), mengutip pernyataan Lewis dan Spenser (1986) menjelaskan bahwa ciri utama pendidikan terbuka yang menerapkan sistem belajar mandiri adalah adanya komitmen untuk membantu pebelajar memperoleh kemandirian dalam menentukan keputusan sendiri tentang 1) tujuan atau hasil belajar yang ingin dicapainya; 2) mata ajar, tema, topic atau issu yang akan ia pelajari; 3) sumber-sumber belajar dan metode yang akan digunakan; dan 4) kapan, bagaimana serta dalam hal apa keberhasilan belajarnya akan diuji (dinilai). Pengertian senada juga dijelaskan oleh Knowles (1975), belajar mandiri adalah suatu proses dimana individu mengambil inisiatif dengan atau tanpa bantuan orang lain untuk 1) mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri; 2) merumuskan/menentukan tujuan belajarnya sendiri; 3) mengidentifikasi sumber-sumber belajar; memilih dan melaksanakan strategi belajarnya; dan 4) mengevaluasi hasil belajarnya sendiri.
Dari beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri pebelajar diberikan kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam menentukan 1) tujuan belajarnya (apa yang harus dicapai); 2) apa saja yang harus dipelajari dan dari mana sumber belajarnya (materi dan sumber belajar); 3) bagaimana mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana keberhasilan belajarnya diukur (evaluasi).
3. Karakteristik Belajar Mandiri
Belajar mandiri juga tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang diskrit, tapi merupakan suatu kontinum. Inti dari konsep belajar mandiri terletak pada otonomi belajar. Artinya, semakin besar derajat otonomi/kemandirian (peran kendali, inisiatif, atau pengambilan keputusan) diberikan oleh suatu lembaga pendidikan (guru/dosen) kepada pebelajar dalam menentukan keempat komponen diatas, maka semakin tinggi (murni) derajat sistem belajar mandiri yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan tersebut. Moore (1977) seperti dikutip oleh Keegan (1990) menyatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajar dapat dilihat dari tiga aspek 1) kemandirian dalam menentukan tujuan: apakah penentuan tujuan belajar ditentukan oleh guru atau pebelajar? 2) kemandirian dalam menentukan metode belajar: apakah pemilihan dan penggunaan sumber belajar dan media lain keputusannya dilakukan oleh guru atau pebelajar?; 3) kemandirian dalam menentukan evaluasi: apakah keputusan tentang metode evaluasi serta criteria yang digunakan ditentukan guru atau pebelajar? . Menurut Candy (1975), belajar mandiri dapat dipandang baik sebagai proses dan juga tujuan. Dengan kata lain, belajar mandiri dapat dipandang sebagai metode belajar dan juga karakteristik pebelajar itu sendiri. Belajar mandiri sebagai tujuan mengandung makna bahwa setelah mengikuti suatu pembelajaran tertentu pebelajar diharapkan menjadi seorang pebelajar mandiri. Sedangkan belajar mandiri sebagai proses mengandung makna bahwa pebelajar mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu tanpa terlalu tergantung pada guru/tutor (mandiri). Berkaitan dengan hal ini, Candy juga membedakan antara belajar mandiri sebagai modus dalam mengorganisasikan pembelajaran dalam seting formal (learner-control) dengan belajar mandiri sebagai individualisasi (autodidaxy). Konsep pertama, menjelaskan konsep belajar mandiri sebagai sistem belajar dalam seting formal. Sedangkan konsep kedua, menjelaskan belajar mandiri sebagai belajar sendiri secara bebas (otodidak). Jadi, belajar mandiri tidak sama dengan belajar otodidak (belajar sendiri). Belajar mandiri sebagai proses memfokuskan diri pada karakteristik transaksi belajar-mengajar yang melibatkan “needs assessment”, sistem evaluasi, sumber-sumber belajar, peran dan keterampilan fasilitator/tutor. Karakteristik utama pendidikan dengan sistem belajar mandiri adalah tanggung jawab dalam mengendalikan dan mengarahkan belajarnya sendiri berada ditangan pebelajar. Karakteristik umum lainya, menurut Institut for Distance Education of Maryland University, pendidikan dengan sistem belajar mandiri memiliki karakteristik: 1) membebaskan pebelajar untuk tidak harus berada pada satu tempat dalam satu waktu tertentu; 2) disediakannya berbagai bahan (materials) termasuk panduan belajar dan silabus yang rinci serta akses ke semua anggota fakultas (penyelenggara pendidikan) yang memberikan layanan bimbingan, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pebelajar, dan mengevaluasi karya-karya para pebelajar; 3) komunikasi antara pebelajar dengan instruktur atau tutor dicapai melalui satu atau kombinasi dari beberapa teknologi komunikasi seperti telepon, voice-mail, konferensi melalui komputer, surat elektronik, dan surat-menyurat secara reguler.
4. Pengetahuan dan Keterampilan Penting dalam Pembelajaran Mandiri
Terdapat dua hal esensial sehububungan dengan hal ini. Pertama, pembelajaran mandiri mengharuskan siswa memiliki beberapa keterampilan dan pengetahuan tertentu seperti mengambil tindakan, keterampilan bertanya, membuat keputusan, berpikir kreatif dan kritis, memiliki kesadaran diri dan mampu bekerja-sama. Kedua, adalah mengharuskan siswa benar-benar melakukan hal tersebut.
a. Mengambil Tindakan
Intinya adalah dimana anak tidak hanya belajar secara ‘teoritis’ dengan membaca, melihat dan menonton saja, melainkan juga siswa aktif bertindak, ‘learning by doing’ dimana siswa mencari dan menggabungkan informasi secara aktif dari masyarakat,, ruang kelas maupun suber lainya, lalu menggunakannya untuk alasan tertentu sehingga informasi tersebut akan tersimpan dalam ingatan (Souders & Prescot, 1999).
Siswa yang menghimpun menyentuh, memanipulasi objek secara langsung akan menyerap informasi dan menyimpan informasi lebih baik dibandingkan jika mereka hanya mendengar, melihat di televisi, film atau komputer. Misalnya, siswa belajar mengenai pentingnya peninggalan arkeologi dengan menggali tulang-belulang yang tentunya sudah dikondisikan guru. Hal ini akan jauh lebih menarik dan pengalaman tersebut akan lebih tertanam dalam benak siswa dibandingkan misalnya jika siswa hanya membaca mengenai peninggalan arkeologis.
b. Mengajukan Pertanyaan
Brooks & Brooks (1993) menyatakan bahwa untuk bisa mengerti, siswa harus mencari makna. Dan untuk dapat mencari makna, siswa harus punya kesempatan untuk membentuk dan mengajukan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan terbuka akan merangsang kreativitas dan rasa ingin tahu siswa, seperti misalnya: dari mana susu berasal. Dari pertanyaan sederhana ini bisa saja akan menjadi semakin mendalam sampai pada proses pembuatan, pasteurisasi dan mungkin strategi pemasarannya.
c. Membuat Pilihan
Dalam pembelajaran mandiri, siswa tidak hanya memilih rancangan kerja mereka sendiri melainkan juga memutuskan bagaimana mereka berperan serta dalam berpartisipasi sesuai bakat dan minat mereka. Selain itu, mereka juga dapat membuat pilihan akan gaya belajar apa yang sesuai dengan mereka, sehingga hal ini kelak dapat membantu siswa untuk mencapai prestasi atau keunggulan, dan juga membuat kegiatan belajar menjadi menyenangkan dan bermakna.
d. Membangun Kesadaran Diri
Dalam berinteraksi dengan diri sendiri dan orang lain siswa baik secara langsung dan tidak langsung mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri dan orang lain, serta belajar bagaimana untuk mengekspresikan emosi secara wajar sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya. Kesadaran diri yang diartikan sebagai kemampuan untuk merasakan perasaan saat perasaan itu muncul adalah kemampuan khas manusia. Kemampuan ini membuat kendali diri dan regulasi emosi menjadi memungkinkan. Keterampilan ini akan lebih terasah dikala siswa bekerja dan belajar serta berinteraksi dalam sebuah kelompok.
e. Kerja Sama
Ini merupakan komponen penting dalam CTL. Para siswa biasanya belajar dalam kelompok-kelompok kecil dan otonom. Kerjasama dalam kelompok dapat mengurangi hambatan akibat keterbatasan pengalaman, pengetahuan dan cara pandang yang terbatas diantara individu anggota kelompok. Selain itu dalam belajar kelompok, dipelajari pula mengenai bagaimana cara mengemukakan pendapat, menghargai pendapat orang lain, berpikiran terbuka, belajar melakukan dialog atau pertukaran pandangan, serta mengambil keputusan bersama.
5. Proses Belajar Mandiri
Inti dari proses belajar mandiri adalah : PDSA (Plan, Do, Study, Act), konsep yang dikembangkan oleh Edward Deming (1994), dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Siswa secara mandiri menetapkan tujuan
Dengan cara ini para siswa diberi kesempatan untuk menerapkan keahlian personal dan akademik dalam kehidupan sehari-hari dan proses ini membantu mereka mencapai standar akademik yang tinggi.
b. Siswa mandiri membuat rencana
Siswa dalam kelompok secara kolektif menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam rencana kerja mereka. Hal ini dapat berupa penyelesaian masalah, menentukan persoalan, atau menciptakan suatu projek. Penentuan langkah kerja ini tergantung dari tujuan kelompok. Dalam dinamika kelompok, berbagai keterampilan seperti pengambilan tindaka, bertanya, menganalisis informasi secara kreatif dan kritis, mengemukakan pendapat sekaligus menghargai pendapat orang lain. Kesemua hal tersebut membantu siswa dalam melakukan pembelajaran mandiri yang lebih matang dan turut membentuk pola pembelajaran sepanjang hayat.
c. Siswa mandiri mengikuti rencana dan mengukur kemajuan diri
Dengan melakukan refleksi dan evaluasi diri, siswa akan belajar dari kesalahan yang mungkin mereka buat dan berusaha memperbaikinya serta melakukan adaptasi-adaptasi yang diperlukan.
d. Siswa mandiri membuahkan hasil akhir
Siswa dapat menentukan bagaimana mereka akan menampilkan hasil akhir dari kelompok mereka, apakah dengan menggunakan portofolio, dengan presentasi atau mungkin dengan suatu pertunjukan (performance). Hal ini kelak bermanfaat bagi kehidupan siswa di masyarakat, keluarga maupun dunia kerja nantinya.
e. Siswa melakukan penilaian autentik
Dengan melakukan penilaian terhadap hasil kerja siswa berupa portofolio, jurnal, presentasi dan performance siswa, guru akan dapat memperkirakan seberapa banyak dan seberapa dalam siswa menguasai materi pelajaran.
Peran Guru dalam Pembelajaran Mandiri
Pada dasarnya guru berperan dalam mengembangkan pengetahuan dan keahlian yang tidak akan siswa dapatkan dari sekedar menjawab pertanyaan factual mengenai topik tertentu. Dedikasi guru sangatlah penting dan tanpa hal ini, proses belajar mandiri akan gagal. Peran guru dalam CTL adalah sebagai ‘ahli’ yang menguasai materi serta memimpin siswa, sekaligus sebagai ‘mentor’ yang mengarahkan dan membimbing siswa.
Keunggulan dan Kelemahan Sistem Belajar Sendiri
a. Keunggulan Sistem Belajar Mandiri ialah :
1. Siswa bebas untuk belajar sesuai dengna gaya belajar mereka sendiri, sesuai dengan kecepatan belajar mereka dan sesuai dengan arah minat dan bakat mereka dalam menggunakan kecerdasan majemuk yang mereka miliki.
2. Menekankan sumber belajar secara lebih luas baik dari guru maupun sumber belajar lain yang memenuhi unsur edukasi.
3. Mengembangkan pengetahuan, keahlian dan kemampuan seseorang secara menyeluruh.
4. Pembelajaran mandiri memberikan siswa kesempatan yang luar biasa untuk mempertajam kesadaran mereka akan lingkungan mereka dan memungkinkan siswa untuk membuat pilihan-pilihan positif tentang bagaimana mereka akan memecahkan masalah yang dihadapi sehari-hari.
5. Pembelajaran mandiri memiliki kelebihan berupa kebebasan bagi siswa untuk memilih materi yang sesuai dengan minat dan kebutuhan.Di samping itu,cara belajar yang dilakukan sendiri juga lebih menyenangkan.
b. Kelemahan Sistem Belajar Mandiri ialah :
1. Siswa bodoh akan semakin bodoh dan siswa yang pintar akan semakin pintar karena jarang terjadi interaksi satu sama lainnya.
2. Bagi siswa yang malas, maka siswa tersebut sulit untuk mengembangkan kemampuannya atau pengetahuannya.
3. Ada beberapa siswa yang membutuhkan saran dari seseorang untuk memilih materi yang cocok untuknya atau ada beberapa siswa materi apakah yang cocok untuk dia karena siswa yang bersangkutan tidak mengetahui sampai seberapa kemampuannya.
2.1.2 Small group discussion
Diskusi adalah salah satu elemen belajar secara aktif dan merupakan bagian dari banyak model pembelajaran SCL yang lain, seperti CL, CbL, PBL, dan lain-lain. Dalam Small Group Discussion ini mahasiswa peserta kuliah diminta membuat kelompok kecil (5 sampai 10 orang) untuk mendiskusikan bahan yang diberikan oleh dosen atau bahan yang diperoleh sendiri oleh anggota kelompok tersebut.
Dengan aktivitas kelompok kecil, mahasiswa akan belajar:
1. Menjadi pendengar yang baik
2. Bekerjasama untuk tugas bersama
3. Memberikan dan menerima umpan balik yang konstruktif
4. Menghormati perbedaan pendapat
5. Mendukung pendapat dengan bukti
6. Menghargai sudut pandang yang bervariasi (gender, budaya, dan lain-lain).
Aktivitas diskusi kelompok dapat berupa :
1. Membangkitkan ide
2. Menyimpulkan poin penting
3. Mengases tingkat skill dan pengetahuan
4. Mengkaji kembali topik di kelas sebelumnya
5. Menelaah latihan, quiz, dan tugas
6. Memproses outcome pembelajaran pada akhir kelas
7. Memberi komentar tentang jalannya kelas
8. Membandingkan teori, isu, dan interpretasi
9. Menyelesaikan masalah
10. Brainstorming
Tahapan dari Small Group discussion):
1. Mahasiswa bertukar informasi dan pendapat
2. Mahasiswa menjadi aktif dan suport mengekspresikan dan memodifikasikan asumsi dan konklusi serta opininya
3. SGD sangat membantu mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis,komunikasi,berinteraksi dan keterampilan sosial.
2.1.3 PBL
Ada beberapa definisi dan intepretasi terhadap Problem Based Learning (PBL). Salahsatunya menurut Duch (1995):
Problem Based Learning (PBL) adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran.
Sejarah PBL
Sejarah PBL
Program inovatif PBL pertama kali diperkenalkan oleh Faculty of Health Sciences of McMaster University di Kanada pada tahun 1966. Yang menjadi ciri khas dari pelaksanaan PBL di mcmaster adalah filosofi pendidikan yang berorientasi pada masyarakat, terfokus pada manusia, melalui pendekatan antar cabang ilmu pengetahuan dan belajar berdasar masalah.
Kemudian pada tahun 1976, Maastricht Faculty of Medicine di Belanda menyusul sebagai institusi pendidikan kedokteran kedua yang mengadopsi PBL. Kekhasan pelaksanaan PBL di Maastrich terletak pada konsep tes kemajuan (progress test) dan pengenalan keterampilan medik sejak awal dimulainya program pendidikan. Dalam perkembangannya, PBL telah diadopsi baik secara keseluruhan atau sebagian oleh banyak fakultas kedokteran di dunia
Motivasi menggunakan PBL
Dalam pendidikan keperawatan konvensional, mahasiswa lebih banyak menerima pengetahuan dari perkuliahan dan literatur yang diberikan oleh dosen. Mereka diharuskan mempelajari beragam cabang ilmu keperawatan dan menghapal begitu banyak informasi. Setelah lulus dan menjadi perawat, mereka dihadapkan pada banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya dari pengetahuan yang mereka dapat selama kuliah. Sistem pendidikan keperawatan konvensional cenderung membentuk mahasiswa sebagai pembelajar pasif. Mahasiswa tidak dibiasakan berpikir kritis dalam mengidentifikasi masalah, serta aktif dalam mencari cara penyelesainnya.
Prinsip-prinsip PBL
Dalam PBL, siswa dituntut bertanggungjawab atas pendidikan yang mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu tergantung pada guru. PBL membentuk siswa mandiri yang dapat melanjutkan proses belajar pada kehidupan dan karir yang akan mereka jalani. Seorang guru lebih berperan sebagai fasilitator atau tutor yang memandu siswa menjalani proses pendidikan. Ketika siswa menjadi lebih cakap dalam menjalani proses belajar PBL, tutor akan berkurang keaktifannya.
Proses belajar PBL dibentuk dari ketidakteraturan dan kompleksnya masalah yang ada di dunia nyata. Hal tersebut digunakan sebagai pendorong bagi siswa untuk belajar mengintegrasikan dan mengorganisasi informasi yang didapat, sehingga nantinya dapat selalu diingat dan diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang akan dihadapi. Masalah-masalah yang didesain dalam PBL memberi tantangan pada siswa untuk lebih mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah secara efektif.
Proses dalam PBL
Siswa dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk menyelesaikan dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki. Pertama-tama mereka mengidentifikasi apa yang harus dipelajari untuk memahami lebih baik permasalahan dan bagaimana cara memecahkannya.
Langkah selanjutnya, siswa mulai mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, laporan, informasi online atau bertanya pada pakar yang sesuai dengan bidangnya. Melalui cara ini, belajar dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan dan gaya tiap individu.
Setelah mendapatkan informasi, mereka kembali pada masalah dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari untuk lebih memahami dan menyelesaikannya.
Di akhir proses, siswa melakukan penilaian terhadap dirinya dan memberi kritik mambangun bagi kolega.
2.1.4 IBL (Inquiry Based Learning)
Dalam IBL, proses pembelajaran dibangun atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa. Di sini para siswa didorong untuk berkolaborasi untuk memecahkan masalah, dan bukannya sekedar menerima instruksi langsung dari gurunya. Tugas guru dalam linkungan belajar berbasis pertanyaan ini bukanlah untuk menyediakan pengetahuan, namun membantu siswa menjalani proses menemukan sendiri pengetahuan yang mereka cari. Jadi, guru berfungsi sebagai fasilitator dan bukan sumber jawaban
IBL didasari atas pemikiran John Dewey, seorang pakar pendidikan Amerika, yang mengatakan bahwa pembelajaran, perkembangan, dan pertumbuhan seorang manusia akan optimal saat mereka dikonfrontasikan dengan masalah nyata dan substantif untuk dipecahkan. Ia percaya bahwa kurikulum dan instruksi seharusnya didasarkan pada tugas dan aktivitas berbasis komunitas yang integratif dan melibatkan para pembelajar dalam tindakan-tindakan sosial pragmatis yang membawa manfaat nyata pada dunia.
Sifat-sifat yang ingin dimunculkan dari para mahasiswa dalam lingkungan IBL ini, menurut Neil Postman dan Charles Weingartner, adalah:
a. Percaya diri terhadap kemampuan belajarnya.