28 August 2013

AVIATION MEDICINE




A.    Adaptasi Tubuh Dalam Penerbangan
Manusia berevolusi untuk hidup di darat dan semua organ tubuh dapat bekerja dan berfungsi dengan baik dalam kondisi lingkungan darat yang mengelilinginya.
Tubuh saat dalam penerbangan mengalami gejala- gejala aneh, yaitu tajam penglihatan dan pendengaran menurun, kedua belah anggota badan menjadi lumpuh dan bahkan sampai jatuh pingsan (dilakukan percobaan oleh Clasher pada tahun 1862).
Paul Bert, seorang ahli ilmu faal Perancis, sangat tertarik dengan kejadian tadi dan pada tahun 1874 mengadakan percobaan dengan menggunakan kabin bertekanan rendah untuk melihat perubahan apa yang dapat terjadi nakan kantong oksigen tanpa mengalami gangguan. Pada waktu pesawat udara masih sederhana, yang tinggi terbangnya belum besar dan kecepatannya masih rendah, telah banyak kecelakaan-kecelakaan yang terjadi, sebagian besar ternyata disebabkan oleh kurang mampunya tubuh penerbang menghadapi perubahan-perubahan atau bahaya-bahaya yang timbul pada penerbangan. Hal ini terbukti pada penelitian-penelitian yang dilakukan pada perang dunia pertama, kira-kira 90% kecelakaan udara disebabkan karena penerbang tidak atau kurang tahan uji terhadap bahaya penerbangan.
Sejak Perang Dunia ke I selesai Ilmu Kesehatan Penerbang- an mendapat tempat yang layak dalam dunia kesehatan, sehingga perkembangannya makin pesat. Sedang pada akhir-akhir ini dengan kemajuan teknologi penerbangan, Ilmu, Kesehatan Penerbangan berkembang dan bahkan sekarang telah menjadi Ilmu Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa.


B.     Preflight Assesment and Medical Clearance
Penilaian pra-penerbangan harus memasukkan langkah-langkah berikut dalam banyak kasus:
1.      memperkirakan tingkat yang diharapkan dari hipoksemia di ketinggian.
2.      mengidentifikasi kondisi penyakit co-morbid.
3.      meresepkan O2 jika perlu. Konseling pasien dan mendokumentasikan kondisi klinis terbaru dan tes laboratorium juga unsur diinginkan pra-penerbangan perawatan pasien, terutama jika pasien bepergian ke luar negeri.
Saat ini, dua cara yang paling luas memperkirakan tingkat hipoksemia pada ketinggian terdiri dari tes inhalasi hipoksia dan penggunaan regresi formula. Penggunaan batas tingkat tekanan O2 laut dari 68-72 mmHg sebagai aman atau tidak aman akan misclassify banyak pasien dan tidak dianjurkan.Hipoksia Inhalasi Tes uji inhalasi hipoksia (HIT) memberikan kesempatan untuk menilai efek hipoksemia normobaric pada individu pasien dengan COPD. Namun, gejala, dan (EKG) elektrokardiogram kelainan jarang terjadi selama paparan singkat hipoksia pada pasien dengan COPD rumit.Pada permukaan laut, HIT harus mengekspos pasien untuk O2 15,1% (2.438 m simulasi (8.000 kaki)), bernapas dari reservoir melalui corong dengan klip hidung di tempat selama 15-20 menit dengan pemantauan EKG 12-lead untuk iskemia. Primer end-point untuk HIT terdiri dari pengambilan sampel darah arteri dalam posisi tegak dalam banyak kasus. Oksimetri pulsa cenderung meremehkan tingkat hipoksia Hypobaric akut dan tidak boleh digunakan sendiri untuk memutuskan apakah hipoksemia signifikan telah terjadi. Oksimetri pulsa dapat digunakan untuk titrasi suplementasi O2 dan menghindari jarum suntik ganda untuk pengujian gas darah. Lead EKG harus digunakan pada pasien yang dipilih untuk memantau iskemia dan aritmia.
Calon HIT dapat meliputi:
1.      pasien PPOK dengan co-morbid penyakit yang mungkin akan terpengaruh oleh hipoksemia (penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, aritmia dan penyakit jantung lainnya, penyakit serebrovaskular, anemia, gangguan kejang dan penyakit neurologis lainnya, dan penyakit pembuluh darah paru termasuk emboli paru).
2.      pasien PPOK yang sebelumnya diwujudkan gejala selama perjalanan udara.
3.      pasien PPOK pulih dari eksaserbasi akut.
4.      pasien PPOK dikenal untuk mengembangkan hipoventilasi dengan O2 administrasi.
5.      PPOK pasien yang memiliki persamaan regresi prediksi ketinggian Pa, O2 yang batas.
6.      PPOK pasien yang memerlukan jaminan tambahan sebelum memulai perjalanan udara.
Regresi Persamaan. Persamaan regresi menawarkan kesempatan untuk membandingkan individu untuk kelompok pasien dengan karakteristik klinis serupa yang sebelumnya telah dipelajari selama paparan hipoksia Hypobaric. Pendekatan regresi tidak menilai kerentanan individu untuk pengembangan gejala atau perubahan EKG selama hipoksia. Persamaan regresi dapat digunakan sebagai alat skrining untuk mengidentifikasi pasien dengan borderline Pa, O2 memperkirakan untuk pengujian lebih lanjut dengan HIT. The alveolar / arteri O2 gradien (PA-a,O2) dan alveolar / arteri rasio O2 umumnya tidak memiliki keuntungan lebih persamaan regresi. Selanjutnya, gradien alveolar / arteri di permukaan laut tidak boleh diasumsikan konstan pada ketinggian.
Waktu pra-penerbangan pengujian harus berada dalam 2-14 hari perjalanan jika praktis. Sebuah studi sebelumnya yang membandingkan HIT (O2% 17,2 di permukaan laut) dengan 1.650 m (5.413 kaki) penerbangan 3 minggu sampai 4 bulan kemudian pada 13 pasien PPOK menemukan variabilitas yang cukup besar hingga 1,5 kPa (11 mmHg) di Pa, O2 nilai. Penilaian dalam waktu 2 jam penerbangan memiliki akurasi yang lebih besar, tetapi kepraktisan kurang.


C. Jet Lag
Bepergian jauh dengan pesawat terbang terkadang membuat orang mengalami jetlag. Jetlag atau desynchronosis adalah gangguan temporer pada jam biologis tubuh manusia akibat terbang melewati banyak perbedaan zona waktu. Tubuh seakan tidak diberi kesempatan yang cukup untuk beradaptasi melewati zona waktu yang berbeda secara cepat sehingga antara jam biologis tubuh dengan siang malamnya kondisi di tempat tujuan tidak lagi sesuai.
Gejala umum yang muncul pada orang yang mengalami jetlag adalah sulit tidur, kelelahan yang sulit hilang, bahkan melakukan balas dendam tidur setelah tiba di tempat tujuan, serta kehilangan selera makan dan tidur.
Terbang ke wilayah barat lebih menyebabkan jetlag ketimbang terbang lama ke arah timur. Ini disebabkan terbang ke arah barat waktu siang yang dirasakan lebih lama sehingga saat tidur di malam hari di tempat tujuan, seseorang tidak merasa mengantuk lagi.
Cara mencegah, mengurangi, dan mengatasi munculnya gejala jetlag sebagai berikut:
1.      Tidur yang cukup di malam hari sebelum terbang.
2.      Ubah jam tangan Anda saat akan terbang disesuaikan dengan waktu tempat tujuan.
3.      Jika terbang ke arah barat (misalnya dari Jakarta ke Amsterdam) dan Anda tiba di Amsterdam di waktu pagi, siang, atau sore, tetaplah terjaga hingga malam tiba. Setelah itu, barulah Anda tidur saat malam tiba dan sesuai jam tidur, misalnya jam 9 malam waktu Amsterdam. Dapat juga dengan mengubah tidur lebih siang saat Anda berada di Jakarta. Di pagi hari perbanyaklah berjalan-jalan di luar rumah dan kurangi berada di luar rumah saat sore hari.
4.      Jika terbang ke arah timur (misalnya dari Paris ke Jakarta), cobalah tidur di pesawat saat waktu malam tiba sesuai jam tangan Anda yang telah sesuai dengan waktu tempat tujuan (Jakarta). Saat tiba di tempat tujuan, kurangi kontak dengan cahaya pagi hari, dan lebih banyak kontak dengan cahaya sore hari. Tetap usahakan tidak tidur selama waktu siang karena akan lebih lama lagi adaptasi tubuh terhadap siang-malam waktu lokal Jakarta.
5.      Jika memungkinkan, beradaptasilah dulu terhadap zona waktu yang baru sekitar satu-dua hari setelah mendarat, sebelum Anda melakukan aktivitas yang normal atau memulai pekerjaan rutin.
6.      Cobalah sebanyak mungkin beraktivitas di luar rumah yang langsung berhubungan dengan sinar matahari saat siang hari, sehingga tubuh lebih beradaptasi terhadap "rasa siang hari". Ini karena cahaya sinar matahari cukup membantu untuk beradaptasi yang lebih cepat terhadap jam biologis yang baru.
7.      Pilih penerbangan langsung tanpa transit atau transfer dengan waktu yang lama. Dengan cara ini Anda bisa lebih rileks.
8.      Lakukan latihan ringan selama dalam penerbangan. Pada beberapa penumpang, membaca cukup efektif mengurangi efek jetlag karena secara psikologis rasa bosan juga mengurangi rasa munculnya jetlag.
Secara umum waktu yang dibutuhkan untuk adaptasi di zona waktu yang baru adalah satu-dua hari. Jika zona waktu yang dilewati sekitar 12 jam, ini adalah waktu paling besar yang memungkinkan terjadinya jetlag. Pada keadaan ekstrem, adaptasi bisa sampai dua pekan pada orang-orang tertentu.


D. Motion Sickness
Kalau mengacu dari istilahnya dalam bahasa Inggris, motion = gerakan, maka mabuk jalan ini adalah suatu sickness (penyakit, gangguan) yang disebabkan oleh adanya gerakan. Penyakit ini merupakan gangguan yang terjadi pada telinga bagian dalam (labirin) yang mengatur keseimbangan, dan disebabkan karena gerakan yang berulang, seperti gerak ombak di laut, pergerakan mobil, perubahan turbulensi udara di pesawat, dll.
Gerakan dirasakan oleh otak melalui 3 jalur pada sistem saraf, yang akan mengirim signal dari telinga bagian dalam (perasaan terhadap gerakan, percepatan, gravitasi), dari mata (penglihatan), dan jaringan lebih dalam pada permukaan tubuh manusia (yang disebut proprioceptors). Ketika tubuh digerakkan dengan sengaja, misalnya kita jalan, input dari ketiga jalur tadi akan dikoordinasikan oleh otak. Ketika terjadi gerakan yang tidak disengaja, seperti ketika mengendarai mobil, kadang otak tidak bisa mengkordinasikan ketiga input tadi dengan baik. Adanya konflik dalam koordinasi 3 input tadi diduga menyebabkan orang merasa mabuk jalan atau motion sickness, dengan gejala mual, pusing, sampai muntah. Konflik input dalam otak ini diduga melibatkan level neurotransmiter yaitu histamin, asetilkolin, dam norepinefrin. Karena itu, obat yang bekerja melawan motion sickness adalah obat yang mempengaruhi atau menormalkan lagi level neurotransmiter ini di otak.

Cara pengatasan motion sickness
Walaupun ada 3 neurotransmiter yang terlibat, tetapi saat ini obat yang paling sering dipakai untuk mengatasi mabuk jalan adalah antihistamin. Obat ini bekerja memblok reseptor histamin di otak yang berada di chemoreceptor trigger zone (CTX) yang mengkoordinasikan input2 tadi. Obat ini bisa mencegah mual, muntah, dan pusing akibat mabuk jalan. Antihistamin yang sering dipakai adalah dimenhidrinat (ada berbagai nama paten), namun demikian bisa juga digunakan obat antihistamin lainnya. Obat sebaiknya diminum sebelum perjalanan dimulai. Bisa juga sih menggunakan antimuskarinik seperti beladonna atau scopolamin, tapi ini adalah obat lama yang sudah jarang dipakai.

Caranya mencegah atau meminimalkan motion sickness
Jika Anda termasuk yang gampang mabuk perjalanan, ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan untuk mencegah mabuk jalan:
1.      Naiklah kendaraan di bagian di mana mata Anda akan melihat gerakan yang sama dengan yang dirasakan oleh tubuh (jadi jangan duduk menghadap ke belakang misalnya, atau di samping, yang tidak searah dengan gerakan mobil). Kalau di mobil atau bus, duduklah di depan dan lihat pemandangan. Kalau di kapal, pergilah ke dek dan melihat gerakan horizon. Kalau di pesawat, duduklah dekat jendela dan melihat keluar. Juga duduklah di bagian dekat sayap, di mana gerakan terasa paling minimal.
2.      Jangan membaca di perjalanan
3.      Jangan melihat atau bicara dengan orang lain yang juga gampang mabuk jalan
4.      Hindari bau-bauan yang kuat, makanan yang berbumbu tajam, terutama sebelum dan selama perjalanan.
5.      Gunakan obat anti mabuk. Ada studi melaporkan bahwa jahe bisa mengurangi mabuk jalan, jadi bisa juga dicoba minum wedang jahe atau mengulum permen jahe, walaupun mungkin hasilnya akan bervariasi antar orang.


E. Inflight Medical Emergencies
Lebih dari satu miliar orang perjalanan melalui udara setiap tahun, dan hanya seperti populasi pada umumnya, kelompok besar wisatawan adalah penuaan. Selain itu, lebih senior dan lebih banyak terbang dari sebelumnya, sebuah tren yang mengkhawatirkan tentang dokter dalam penerbangan darurat yang mereka semakin sering dipanggil untuk mengobati.
Dalam sebuah makalah 2012 di Clinical Geriatrics, kebijakan kesehatan profesor Richard Stefanacci menguraikan tantangan yang berkembang untuk dokter - sebagai wisatawan sendiri - ketika mereka ditekan menjadi layanan untuk membantu sesama penumpang dalam kesulitan, serta tanggung jawab yang orang tua menanggung, untuk memastikan mereka cukup baik untuk terbang.
Tinjauan Stefanacci ini menambah pertumbuhan badan penelitian yang menunjukkan konsistensi antara prosedur penerbangan, pelaporan, pelatihan, dan peralatan onboard diperlukan untuk kesehatan dan perlindungan dari semua wisatawan udara.
Untungnya, sementara tingkat kematian onboard, dua kali lipat 2002-2005, menurut Stefanacci, mereka tetap relatif jarang. Onboard darurat dari semua jenis sedang meningkat: kertas 2011 oleh Harvard Medical School profesor Melissa Mattison dan Mark Zeidel, diterbitkan dalam Journal of American Medical Association, mengutip sebuah survei maskapai penerbangan Eropa yang mengungkapkan 10.000 peristiwa darurat medis selama lima tahun.
Peraturan tertentu, seperti langkah pada tahun 2001 oleh US Federal Aviation Administration (FAA) untuk meminta pesawat dengan setidaknya satu pramugari untuk membawa defibrillator eksternal otomatis, telah meningkatkan hasil secara signifikan. Tapi penulis Mattison dan Zeidel sangat penting dari praktek saat ini, dan menulis bahwa ada ruang besar untuk perbaikan dalam cara onboard yang darurat medis ditangani.
Jenis keadaan darurat inflight: Sementara beberapa peneliti meratapi kurangnya rekaman standar keadaan darurat seperti - membuat penghitungan diandalkan sulit untuk menemukan - ada survei dan laporan yang memberikan informasi tentang masalah kesehatan yang paling umum.
Penyebab terbesar kematian dalam penerbangan: masalah jantung, termasuk serangan jantung. Yang darurat onboard yang paling umum, sesuai dengan kertas Stefanacci, adalah hilangnya kesadaran sementara, atau pingsan. Masalah lain termasuk hiperventilasi, gejala jantung seperti sesak napas dan nyeri dada, masalah pencernaan, dan komplikasi akibat diabetes. Sementara wisatawan lebih tua banyak yang menyadari risiko trombosis vena, gangguan yang berpotensi mengancam nyawa pembekuan darah, hanya sekitar 200 kasus di seluruh dunia dilaporkan 1993-2003, menurut internasional Aerospace Medical Association (Asma) di yang Medis Pedoman Perjalanan Airline.
Jika keadaan darurat medis muncul dalam penerbangan, sang kapten kemungkinan akan mengeluarkan panggilan pada sistem alamat publik untuk melihat apakah dokter yang tersedia untuk membantu. Anehnya - karena apakah dokter onboard adalah masalah kesempatan - sebuah studi 1991 FAA menemukan dokter yang tersedia di 85% dari keadaan darurat direkam.
Penumpang dokter biasanya dilindungi oleh undang-undang Samaria yang baik, asalkan mereka tidak melampaui bidang keahlian mereka, dan tidak mabuk. Mereka dipandang sebagai sukarelawan, melengkapi upaya awak kabin, bukannya mengesampingkan mereka.
Onboard kit darurat: Saat FAA memerlukan sejumlah elemen untuk dibawa dalam kit darurat pada pesawat AS papan komersial. Ini termasuk peralatan seperti jarum suntik, jarum dan stetoskop, serta obat-obatan seperti nitrogliserin untuk gagal jantung dan angina, epinefrin, dan antihistamin untuk memerangi reaksi alergi. Banyak maskapai penerbangan menambah kit darurat mereka dengan komponen tambahan.
Tantangan bagi dokter onboard yang: Hanya mengambil riwayat pasien di tempat sempit kabin bisa jadi sulit untuk dokter, ketika dipanggil untuk membantu. Laporan JAMA menyebutkan tantangan yang dihadapi beberapa tambahan oleh dokter mengobati sesama penumpang.
Mereka meliputi:
1.      Ruang terbatas yang tersedia untuk mengobati penumpang sakit
2.      Kit darurat onboard tidak menjadi tersedia
3.      Terbiasa tata letak dan isi dari kit darurat
4.      Pramugari tersedia untuk membantu
Selain itu, daftar Stefanacci kurangnya ketersediaan alat diagnostik dan pengobatan, dan staf medis pendukung, serta perubahan fisiologis yang dapat terjadi dengan tekanan udara rendah dan kelembaban relatif pada 30.000 kaki, sebagai faktor membuat pekerjaan dokter lebih sulit.
Rekomendasi untuk meningkatkan penumpang perawatan pasien: Harvard profesor Mattison dan Zeidel membuat sejumlah industri-lebar saran untuk memastikan hasil yang membaik dalam hal darurat onboard:
1.      Sebuah sistem standar untuk merekam semua dalam penerbangan darurat, dengan pelaporan wajib untuk lembaga seperti US National Transportation Safety Board
2.      Tindak lanjut pembekalan semua staf dan dokter yang terlibat dalam keadaan darurat
3.      Desain kit darurat medis standar, dengan semua komponen dikemas dalam mode standar sehingga mereka identik pada setiap pesawat dan mudah dinavigasi untuk dokter
4.      Peningkatan pelatihan bagi pramugari dalam cara untuk membantu tenaga medis dalam keadaan darurat
5.      Penugasan satu pramugari kepada pasien dalam kesusahan
6.      Standar akses terhadap tanah berbasis dukungan medis untuk awak pesawat (saat ini banyak, tapi tidak semua, maskapai penerbangan mensubkontrakkan pelayanan tersebut dalam acara dokter tidak onboard)
7.      Ongoing revisi prosedur darurat
Meskipun protokol standar dapat membantu Anda bertahan masalah dalam penerbangan medis, pendekatan terbaik adalah untuk mencoba dan menghindari darurat di tempat pertama. Stefanacci dan lain-lain merekomendasikan evaluasi pre-flight oleh dokter atau penyedia layanan kesehatan, untuk memastikan Anda cocok untuk perjalanan. Untuk saran pada kondisi tertentu, seperti penyakit jantung dan diabetes, serta pertimbangan penerbangan untuk pasien yang baru saja menjalani operasi, konsultasikan publikasi Asma Pedoman medis untuk Perjalanan Airline.







Daftar Pustaka


American Thoracic Society. Pre-Flight Assessment. http://www.thoracic.org/clinical/copd-guidelines/for-health-professionals/management-of-stable-copd/air-travel/pre-flight-assessment.php (diakses tanggal 12 Juli 2013)

New Medical. 2013. Jet Lag. http://www.news-medical.net/health/Jet-Lag-What-is-Jet-Lag-%28Indonesian%29.aspx (diakses tanggal 12 Juli 2013)

Sharon Basaraba. 2013 . In-Flight Medical Emergencies for Older Travelers. http://longevity.about.com/od/optimizemedicalcare/a/In-Flight-Medical-Emergencies-For-Older-Travelers.htm translate.google (diakses tanggal 12 Juli 2013)

Wikipedia bahasa Indonesia. 2012. Aerofisiologi. http://id.wikipedia.org/wiki/Aerofisiologi (diakses tanggal 12 Juli 2013)

Zullies Ikawati. 2010. Melawan Mabuk Perjalanan (Motion Sickness). http://zulliesikawati.wordpress.com/tag/motion-sickness/ (diakses tanggal 12 Juli 2013)